Banda Aceh - Dijuluki 'Serambi Mekah', Provinsi Aceh adalah destinasi tepat untuk merasakan aura bulan Ramadan. Di ibukotanya yakni Banda Aceh, wisatawan bisa merasakan atmosfer puasa yang berbeda dengan kota mana pun di Indonesia.
Atmosfer bulan Ramadan di Banda Aceh sangat berbeda dengan kota-kota lain, apalagi metropolis seperti Jakarta. Nuansa Islami sangat menonjol di sini. Sepertinya, semua orang di kota ini menjalankan puasa tanpa terkecuali.
"Terasa banget bedanya... Di kota-kota besar bolehlah ada masjid, tapi kalau di Aceh, selalu ada orang ngaji 24 jam. Dari subuh, sampai subuh lagi," tutur Ferzya Farhan, traveler domisili Banda Aceh yang besar di Jakarta dan Yogyakarta.
Ini adalah kali pertama bagi Ferzya menjalankan ibadah puasa di kampung halamannya. Traveler itu pun mengakui bahwa 'culture shock' langsung terasa. Semua warung tutup dari pagi hingga siang. Jam buka restoran juga mengikuti waktu ibadah.
"Kalau di kota-kota lain, warung atau restoran kan biasa buka di bulan Ramadan meski ditutup tirainya. Tapi di Aceh semuanya ditutup, nggak ada yang buka sampai pukul lima sore," tambah Ferzya.
Tapi begitu adzan ashar berkumandang dan umat Muslim selesai melakukan salat, lapak jajanan mulai dibuka. Para pedagang kaki lima mulai bersiap, tersebar di banyak tempat. Mereka menjajakan kue-kue tradisional seperti timphan dan onde-onde berisi gula merah.
"Minumannya ada es kelapa, sop buah, es campur, es tebu... Mereka beli kue atau gorengan, dan minum es-es itu," tutur M Antonio Gayo, Ketua Marketing and Creative Development komunitas I Love Aceh saat dihubungi detikTravel, Kamis (18/7/2013).
Bagi warga Aceh, ngabuburit adalah waktunya mencari makanan berbuka puasa. Mereka keluar rumah, menyambangi tempat-tempat ramai seperti Simpang Lima dan Darussalam untuk berburu takjil. Pasar Aceh yang terletak persis di sebelah Masjid Raya Baiturrahman juga selalu penuh warga.
"Lapak-lapak itu buka dari sore sampai 19.30 WIB. Waktu tarawih semuanya tutup. Nanti dibuka lagi usai tarawih, sekitar pukul 21.30-23.00 WIB," tambah Anton.
Selain Simpang Lima dan Darussalam, beberapa kawasan lain yang ramai pedagang kaki lima adalah Tamansari, Sepui, Ajun, Darussalam, dan Merduwati.
"Kalau Pasar Aceh memang selalu ramai, tiap hari, nggak bulan Ramadan aja," tambah Ferzya saat dihubungi detikTravel.
Selama ngabuburit, warga menunggu berbuka sambil bercengkerama. Beberapa masjid menggelar ceramah dan kegiatan Ramadan. Saat adzan maghrib berkumandang, pukul 18.59 WIB, mereka berbondong-bondong datang ke masjid untuk beribadah. Beberapa restoran mulai penuh, seperti Ayam Lepas dan restoran ikan bakar. Beberapa resto cepat saji juga digemari warga.
Itulah atmosfer Banda Aceh saat Ramadan, jauh berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Kota ini sepi dari pagi hingga sore. Warga bekerja atau berdiam diri di rumah. Lain halnya dengan warga kota besar seperti Jakarta yang suka ngabuburit di mal atau pusat perbelanjaan.
"Turis asing agak sulit kalau mau makan siang. Tapi beberapa restoran cepat saji buka kok dari siang," tambah Ferzya.
Atmosfer bulan Ramadan di Banda Aceh sangat berbeda dengan kota-kota lain, apalagi metropolis seperti Jakarta. Nuansa Islami sangat menonjol di sini. Sepertinya, semua orang di kota ini menjalankan puasa tanpa terkecuali.
"Terasa banget bedanya... Di kota-kota besar bolehlah ada masjid, tapi kalau di Aceh, selalu ada orang ngaji 24 jam. Dari subuh, sampai subuh lagi," tutur Ferzya Farhan, traveler domisili Banda Aceh yang besar di Jakarta dan Yogyakarta.
Ini adalah kali pertama bagi Ferzya menjalankan ibadah puasa di kampung halamannya. Traveler itu pun mengakui bahwa 'culture shock' langsung terasa. Semua warung tutup dari pagi hingga siang. Jam buka restoran juga mengikuti waktu ibadah.
"Kalau di kota-kota lain, warung atau restoran kan biasa buka di bulan Ramadan meski ditutup tirainya. Tapi di Aceh semuanya ditutup, nggak ada yang buka sampai pukul lima sore," tambah Ferzya.
Tapi begitu adzan ashar berkumandang dan umat Muslim selesai melakukan salat, lapak jajanan mulai dibuka. Para pedagang kaki lima mulai bersiap, tersebar di banyak tempat. Mereka menjajakan kue-kue tradisional seperti timphan dan onde-onde berisi gula merah.
"Minumannya ada es kelapa, sop buah, es campur, es tebu... Mereka beli kue atau gorengan, dan minum es-es itu," tutur M Antonio Gayo, Ketua Marketing and Creative Development komunitas I Love Aceh saat dihubungi detikTravel, Kamis (18/7/2013).
Bagi warga Aceh, ngabuburit adalah waktunya mencari makanan berbuka puasa. Mereka keluar rumah, menyambangi tempat-tempat ramai seperti Simpang Lima dan Darussalam untuk berburu takjil. Pasar Aceh yang terletak persis di sebelah Masjid Raya Baiturrahman juga selalu penuh warga.
"Lapak-lapak itu buka dari sore sampai 19.30 WIB. Waktu tarawih semuanya tutup. Nanti dibuka lagi usai tarawih, sekitar pukul 21.30-23.00 WIB," tambah Anton.
Selain Simpang Lima dan Darussalam, beberapa kawasan lain yang ramai pedagang kaki lima adalah Tamansari, Sepui, Ajun, Darussalam, dan Merduwati.
"Kalau Pasar Aceh memang selalu ramai, tiap hari, nggak bulan Ramadan aja," tambah Ferzya saat dihubungi detikTravel.
Selama ngabuburit, warga menunggu berbuka sambil bercengkerama. Beberapa masjid menggelar ceramah dan kegiatan Ramadan. Saat adzan maghrib berkumandang, pukul 18.59 WIB, mereka berbondong-bondong datang ke masjid untuk beribadah. Beberapa restoran mulai penuh, seperti Ayam Lepas dan restoran ikan bakar. Beberapa resto cepat saji juga digemari warga.
Itulah atmosfer Banda Aceh saat Ramadan, jauh berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Kota ini sepi dari pagi hingga sore. Warga bekerja atau berdiam diri di rumah. Lain halnya dengan warga kota besar seperti Jakarta yang suka ngabuburit di mal atau pusat perbelanjaan.
"Turis asing agak sulit kalau mau makan siang. Tapi beberapa restoran cepat saji buka kok dari siang," tambah Ferzya.
Sumber : Detik.Com
Posting Komentar