Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan. | DEYTRI ROBEKKA ARITONANG |
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah mengakomodasi tuntutan Pemerintah Aceh untuk ikut mengelola minyak dan gas bumi (migas) di perairan laut lebih dari 12 mil. Tuntutan itu akan dibahas bersama antara tim pemerintah pusat dan Aceh.
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, pembahasan soal batas laut sempat mengalami kebuntuan. Namun, katanya, pembahasan soal itu telah menemui titik terang dan akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi. Draf rancangan PP tersebut masih dalam pembahasan.
“Waktu itu kan macetnya, pemerintah usulkan sampai 12 mil ke laut, sedangkan Aceh minta lebih lah, sampai 200 mil ke laut. Itu juga sudah mulai ada titik terangnya,” ujar Djohermansyah saat ditemui di kantornya, Jumat (16/8/2013). Ia mengatakan, pemerintah belum menetapkan seberapa jauh batas pengelolaan migas di laut Aceh.
Menurutnya, yang pasti, akan dibentuk badan bersama yang terdiri dari pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh yang akan mengelola migas di Aceh. “Migas nanti dikelola bersama melalui satu badan bersama, ada Aceh, ada pemerintah pusat. Tetap menjadi pembagian,” sambung birokrat yang akrab disapa Djo itu.
Ia mengatakan, draf yang sedang disusun pemerintah pusat itu sudah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPR Aceh. Pemprov Aceh dan DPRA, katanya, akan memberi masukan dan saran terkait aturan itu.
Selain RPP tentang Pengelolaan Bersama Migas, katanya, pemerintah juga menyiapkan draf RPP tentang Kewenangan yang Bersifat Nasional di Aceh. Ia mengatakan, dalam RPP itu, ada 30 isu yang telah selesai dibahas. “Masih ada dua bidang isu lagi yang belum selesai, yaitu soal pertahanan dan kehutanan,” kata Djo.
Pembahasan dua PP dan satu perpres tentang pertahanan itu dilakukan secara paralel dengan evaluasi Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Zaini Abdullah meminta pemerintah pusat menepati janji untuk memperjelas wewenang Pemerintah Aceh terutama terkait pengelolaan minyak dan gas (migas) dan tanah. Di sisi lain, pemerintah berjanji akan membahasnya.
Pertemuan terakhir antara pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan DPRA berlangsung 31 Juli lalu. Masa pembahasan diperpanjang kembali selama dua bulan hingga 15 Oktober mendatang.
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, Pemerintah Aceh diberi wewenang pengelolaan sumber daya alam khususnya migas. Kewenangan Pemerintah Aceh itu diformulasikan dalam Pasal 160 Ayat (1) dan (2).
Aturan itu menyebutkan, wewenang itu diberikan dengan membentuk satu badan pelaksana yang ditetapkan bersama dengan pemerintah pusat untuk mengelola migas di Aceh. Namun, hingga kini belum ada PP yang mengatur soal itu.
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, pembahasan soal batas laut sempat mengalami kebuntuan. Namun, katanya, pembahasan soal itu telah menemui titik terang dan akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi. Draf rancangan PP tersebut masih dalam pembahasan.
“Waktu itu kan macetnya, pemerintah usulkan sampai 12 mil ke laut, sedangkan Aceh minta lebih lah, sampai 200 mil ke laut. Itu juga sudah mulai ada titik terangnya,” ujar Djohermansyah saat ditemui di kantornya, Jumat (16/8/2013). Ia mengatakan, pemerintah belum menetapkan seberapa jauh batas pengelolaan migas di laut Aceh.
Menurutnya, yang pasti, akan dibentuk badan bersama yang terdiri dari pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh yang akan mengelola migas di Aceh. “Migas nanti dikelola bersama melalui satu badan bersama, ada Aceh, ada pemerintah pusat. Tetap menjadi pembagian,” sambung birokrat yang akrab disapa Djo itu.
Ia mengatakan, draf yang sedang disusun pemerintah pusat itu sudah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPR Aceh. Pemprov Aceh dan DPRA, katanya, akan memberi masukan dan saran terkait aturan itu.
Selain RPP tentang Pengelolaan Bersama Migas, katanya, pemerintah juga menyiapkan draf RPP tentang Kewenangan yang Bersifat Nasional di Aceh. Ia mengatakan, dalam RPP itu, ada 30 isu yang telah selesai dibahas. “Masih ada dua bidang isu lagi yang belum selesai, yaitu soal pertahanan dan kehutanan,” kata Djo.
Pembahasan dua PP dan satu perpres tentang pertahanan itu dilakukan secara paralel dengan evaluasi Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Zaini Abdullah meminta pemerintah pusat menepati janji untuk memperjelas wewenang Pemerintah Aceh terutama terkait pengelolaan minyak dan gas (migas) dan tanah. Di sisi lain, pemerintah berjanji akan membahasnya.
Pertemuan terakhir antara pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan DPRA berlangsung 31 Juli lalu. Masa pembahasan diperpanjang kembali selama dua bulan hingga 15 Oktober mendatang.
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, Pemerintah Aceh diberi wewenang pengelolaan sumber daya alam khususnya migas. Kewenangan Pemerintah Aceh itu diformulasikan dalam Pasal 160 Ayat (1) dan (2).
Aturan itu menyebutkan, wewenang itu diberikan dengan membentuk satu badan pelaksana yang ditetapkan bersama dengan pemerintah pusat untuk mengelola migas di Aceh. Namun, hingga kini belum ada PP yang mengatur soal itu.
Posting Komentar