Tips Dan Trik

Agama dan Negara; Tiga Aliran Besar Tentang Hubungan Islam dan Politik

Bahauddin 

Elektabilitas partai dan tokoh Islam berada dalam titik nadir. Pada pemilu tahun 2014, dipastikan partai dan tokoh Islam hanya menjadi penggembira dalam pesta demokrasi terbesar lima tahunan di tanah air. Pemilu tahun 2014 hanya akan diikuti oleh tiga pasang kandidat, semuanya berasal dari partai berhaluan nasionalis. Sedangkan partai dengan haluan Islam, masih terpuruk karena mengalami krisis kepemimpinan yang luar biasa.

Demikian salah satu kesimpulan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pertengahan Maret tahun 2013.  Pemikir politik Islam, Fachry Ali  pernah memperediksi bahwa  pemilu tahun 2014 adalah pemilu terakhir yang akan diikuti oleh partai Islam. Keterbatasan materi, finansial, jejaring sosial, serta penguasan atas media merupakan problematika penting yang dihadapi oleh umat Islam.  Lantas, apa solusi bagi partai Islam untuk tetap bertahan? Fachry Ali mengusulkan, sebaiknya partai Islam harus secepat mungkin melakukan fusi (penggabungan) partai. “Fusi partai Islam merupakan jawaban atas kebuntuan masalah yang dihadapi partai dan tokoh Islam, “ Ujar Fachry Ali di Jakarta, Senin, (18/3/2013).

Saat ini, lanjut Fachry, partai dengan kategori Islam berjumlah empat partai (PKS, PAN, PPP dan PKB). Ke-empat partai Islam ini, jika difusi menjadi satu partai tunggal, tentu akan mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang cukup tinggi. Jika dikalkulasi secara prosentase, angka yang keluar dari fusi partai Islam sebanyak 24,15%,  setara dengan 164 kursi,  atau berjumlah 25. 140. 871 pemilih. Kalkukasi ini diperoleh dari hasil pemilu tahun 2009, dengan jumlah partai yang lolos ke parlemen sebanyak Sembilan partai, empat partai bernafas Islam, sisanya partai-partai dengan corak nasionalisme.

Sementara,   cendikiawan muslim  Komaruddin Hidayat menerangkan,  fusi partai Islam sangat sulit terjadi. Dirinya menjelaskan perbedaan pandangan perjuangan ditengarai menjadi jurang penghalang bagi bersatunya partai Islam.  Menurutnya definisi “partai Islam “ adalah istilah yang kurang tepat. Islam, menurutnya adalah agama dengan sifatnya sacral dan berorientasi ganda, dunia-akhirat. Sedangkan partai sifatnya profan (duniawi). Partai merupakan wadah perjuangan yang bersifat temporer, tidak kekal dan rawan kepentingan. Terlebih dalam merebut kekuasaan alasan teologis sering dijadikan argumentasi dalam dunia politis.

“Sebetulnya istilah partai Islam, sudah diterangkan oleh Cak Nur pada tahun 1970-an dengan slogan terkenalnya Islam Yes dan Partai Islam No, “ tutur Komaruddin  dalam dialog bertajuk ‘penegakan hukum versus kepentingan politik, islam dan militer’, bertempat dirumah kebangsaan, jl. Purnawarman II, Jakarta Selatan, Jum’at malam (22/3).

Selain itu, Komar juga mempertanyakan bagaimana mekanisme penyatuan partai Islam. Kemudian siapa yang akan menjadi pemimpin tertinggi dari barisan Hijau tersebut. Islam, menurutnya tidak hanya dipahami dalam pengertian simbol-simbol duniawi seperti partai, sorban, dan sebagainya.

Menyatukan gerakan Islam dalam satu wadah, sama saja mengerdilkan gerakan Islam. Terlebih definisi ‘partai Islam’ masih mengalami kerancuan. Hingga kini, masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung usai.

Diskursus Islam dan Politik

Diskursus tentang relasi Islam dan Negara, lanjutnya dalam konteks Indonesia tidak pernah selesai tuntas. Antara keduanya selalu ada tautan, terlebih dari aspek historis Islam mempunyai peranan penting dalam membangun fondasi awal berdirinya negara kesatuan republic Indonesia (NKRI). Peranan Sarekat Islam (SI) serta Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Meskipun tidak berlangsung lama, namun partai dan tokoh Islam pernah berhimpun dalam satu wadah tunggal.

Namun, dalam konteks sejarah terjadi perbedaan pemahaman dalam memandang Islam hubungan Islam dan Negara. Pandangan pertama, lanjutnya diwakili oleh Ali Abdur Raziq (mantan rector al- Azhar, Kairo, Mesir). Abd Roziq pernah menulis sebuah risalah yang berjudul, al- Islam wa usulul hukmi . Dalam buku tersebut dijelaskan pemisahan secara tegas antara agama dan negara,  agama adalah urusan kehidupan dan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai pencipta dengan sifatnya yang suci. Sedangkan negara, adalah urusan keduniawian yang sifatnya fana, atau tidak kekal. Menyejajarkan Islam dengan kehidupan dunia, termasuk didalamnya dalam urusan politik, berarti merendahkan Islam sebaga agama yang turun dari kalam Ilahi. Paham inilah yang disebut dengan istila sekuler. Yakni pemisahan demarkasi jelas antara agama dan Negara.

Kemudian,  Paham kedua.  Islam bukanlah semata-mata agama yang dalam pengertian barat. Namun, Islam dianggap sebagai agama paripurna yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk mekanisme dan tata cara bernegara didalamnya. Sistem tatanegara atau politik Islam yang harus dipahami dan dijadikan suri tauladan adalah sistem yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasidin. Pandangan integral ini disikong oleh pemikir-pemikir semisal Sayyid Qutb, Hassan al_ Bannad, Rasyid Ridha dan sebagainya.

Sementara pandangan terakhir adalah, pandangan yang menolak bahwa Islam sebagai agama paripurna dan bahwa Islam juga mengatur hubungan dengan negara. Namun, aliran ini juga menolak agama dalam pengertian barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dalam artian agama adalah urusan privat. Aliran ini berpendapat, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan berbegara. Aliran terakhir ini didukung oleh Muhammad Husein Haikal.

Dalam konteks Indonesia, lanjut Komar. Pola pandangan terakhir inilah yang banyak diadopsi. Islam, tidak serta merta diformalisasikan dalam bentuk undang-undang. Namun, semangat dan ajaran Islam tercermin dalam undang-undang di negara Indonesia. “Formalisasi Islam dalam Undang-Undang, sama saja mengerdilkan ajaran dan nilai luhur dari agama Islam, “imbuhnya.

Pancasila, terangya merupakan lima prinsip pandangan hidup bangsa Indonesia, yang benyak diilhami dari ajaran Islam. Bahkan, tokoh Masyumi terkemuka, Muhammad Natsir pada tanggal 2 April 1952 pernah berpidato di Pakistan. Menurut Natsir, meskipun bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, namun tidak serta merta Islam diformalisasikan dalam bentuk aturan tetap. Bangsa Indonesia menempatkan kepercayaan terhadap Tuham YME sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai pandangan rohani, moral dan etika.

Penerapan ajaran Islam dalam Pancasila, lanjut Komar adalah prestasi yang luar biasa. Hal tersebut menurutnya merupakan bentuk pengakuan aparatur negara atas sumbangsih Islam yang demikian besar bagi Negara. Umat beragam diberikan jaminan rasa aman untuk memilih dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. “Ini adalah esensi dari ajaran Islam, saling menghormati dan menghargai,” ujarnya.

sumber : Kompasiana
Share this post :

Posting Komentar

 
Design By: Keude.Net | Support | CSS
Copyright © 2013. www.Aceh.us - menerima kiriman tulisan dan foto melalui email : Acehinfocom@yahoo.com
Pedoman Media Siber
INFO IKLAN