Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan agenda prioritas Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf. Meskipun demikian, bukan berarti pembahasan berjalan mulus, ada terjadi tarik ulur kepentingan menyangkut RTRW tersebut.
Qanun RTRW ini memang bukan hal yang baru lagi. Sejak kepemimpinan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar pembahasan RTRW sudah menuai kontroversi akibat Pemerintah mencoba menambah hutan lindung yang kemudian ada sebagian Kabupaten/Kota yang menolak.
Hal inilah yang membuat sejumlah aktivis lingkungan, diantaranya adalah Walhi Aceh menjadi gerah. Sehingga pada tanggal 18 Maret 2013 Aliansi Tata Ruang Aceh (ATRA), yang merupakan gabungan beberapa lembaga yang konsen terhadap lingkungan, diantaranya adalah Walhi Aceh menggelar aksi di depan Hermes Palace Hotel.
Saat itu peserta aksi langsung diterima oleh Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husni Syamaun yang sedang mengikuti kajian ilmiah tentang lingkungan bersama pakar lingkungan seluruh dunia.
Untuk mengetahui pemikiran dan alasan penolakan RTRW Aceh tersebut. Wartawan The Globe Journal berkesempatan wawancara secara esklusif bersama Direktur Walhi Aceh, T.M.Zulfikar. Berikut wawancara eklusif :
Apa yang Menjadi Persoalan dalam Penetapan RTRW Aceh Saat ini?
Persoalan dalam penetapan RTRW Aceh memang cukup beragam. Perlu diketahui bahwa usaha untuk penyusunan RTRW Aceh sudah dilakukan sejak tahun 2003 lalu, kemudian terhenti sejenak akibat tsunami di akhir tahun 2004.
Lalu pada masa rehabilitasi dan rekonstruski Aceh tahun 2006 hingga 2009 kembali disusun. Lalu pada tahun 2007 disahkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Seharusnya akhir tahun 2009 RTRW Aceh sudah selesai namun kenyataannya, hingga akhir tahun 2012 RTRW Aceh tidak kunjung disahkan.
Apa Persoalan yang Terjadi Sehingga Tidak Kunjung Selesai?
Persoalan yang dihadapi pada dasarnya adalah akibat kekurang Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki pemahaman terkait penataan ruang, khususnya tenaga perencana/planner dan GIS (Geographic Information System) di daerah.
Lantas Bagaimana?
Akibatnya telah memperlambat proses penyesuaian RTRW. Lalu terjadi berbagai konflik penggunaan ruang antar sektor kehutanan, khususnya hutan lindung yang dimasukan ke dalam kawasan lindung dan sektor di luar kehutanan yang dimasukan kedalam kawasan budidaya.
Terjadi tidak sepahaman antara pihak pemerintah Provinsi Aceh dalam hal ini BKPRA (Badan Koordinasi Penataan Ruang Aceh) dengan BKPRK (Badan Koordinasi Penataan Ruang Kabupaten) di tiap kabupaten.
Apa yang menjadi kehendak Provinsi?
Pihak Provinsi menghendaki penambahan hutan di tiap Kabupaten. Terjadi penambahan luas hutan dari luas semula sebesar ±3.248.892 hektar menjadi ±4.047.897 hektar.
Penambahan tersebut akan dituangkan kedalam RTRW Aceh, sehingga akan mempengaruhi pola ruang hutan di semua Kabupaten/Kota di Aceh.
Hal inilah yang terjadi penolakan hebat dari tiap Kabupaten/Kota terhadap usulah provinsi tersebut. Penolakan ini mengakibatkan usulan penambahan hutan tersebut tidak disetujui oleh pemerintah pusat.
Apa Keinginan Pemerintah Pusat?
Pemerintah pusat mensyaratkan dukungan dari setiap Kabupaten/Kota agar usulan ini dapat disetujui. Akan tetapi pihak Kabupaten/Kota tetap bersikeras dengan keputusaannya untuk tidak menambahkan hutan di daerahnya masing-masing karena akan mengurangi kawasan budidaya mereka.
Bahkan terdapat kawasan budidaya seperti pemukiman penduduk yang telah ada sejak lama, masuk ke dalam usulan penambahan hutan.
Ketidak sepahaman ini mengakibatkan deadlock antara pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota dan mengakibatkan berhentinya proses persetujuan substansi hingga tahapan rekomendasi gubernur yang diwewenangi oleh pemerintah provinsi dalam hal ini BKPRA.
Kemudian Apa yang Terjadi?
Permasalahan tersebut berbuntut panjang belum mendapatkan titik terang, hingga datanglah perwakilan dari empat kementerian untuk mencari solusi penyesaian masalah RTRW di Aceh.
Setelah diskusi yang panjang antara empat kementerian (Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Bappenas, Kementerian Kehutanan dan Kementrian Dalam Negri), pemerintah Provinsi Aceh (BKPRA) dan pemerintah tiap Kabupaten/Kota (BKPRK), diambillah sebuah kesepakatan untuk menunggu hasil Timdu (tim terpadu dari kementrian kehutanan) menyelesaikan verifikasi pola ruang provinsi berdasarkan usulan pola ruang Kabupaten/Kota.
Kesepakatan tersebut memang tidak cukup memuaskan bagi beberapa pihak khususnya Kabupaten/Kota karena akan memperlambat proses penyelesaian RTRW, tetapi hal tersebut merupakan jalan keluar dari konflik yang terjadi antara provinsi dan Kabupaten/Kota.
Ternyata hasil kerja Tim terpadu yang dibentuk Kementerian Kehutanan pada era Pemerintahan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tersebut ternyata tidak diterima secara baik oleh pemerintah Aceh yang saat ini sedang berkuasa.
Pihak Eksekutif baik di Kabupaten/Kota maupun Provinsi serta Legislatif masih tetap dengan kemauannya untuk tidak menambah kawasan hutan di Aceh.
Bagaimana dengan analisis Walhi Sendiri?
Dari hasil analisis WALHI Aceh dan organisasi lingkungan Aceh lainnya yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Hutan Aceh (KPHA), rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang diusulkan Pemerintah Aceh, saat ini menimbulkan banyak kekhawatiran.
Dari hasil analisis, alih fungsi kawasan dan peruntukan hutan dalam RTRW mengancam lingkungan, manusia dan habitat satwa langka di daerah ini.
Aceh, merupakan satu-satunya daerah di dunia yang memiliki satwa sekaligus: gajah, harimau, badak dan orangutan, dalam satu kawasan.
Hutan Aceh harus diselamatkan. Namun, bukan berarti alih fungsi kawasan hutan total ‘haram,’ tetapi harus melalui pengkajian matang dan mendalam serta melibatkan komponen masyarakat sipil.
Apa yang Telah Dilakukan oleh Walhi dan Aktivis Lingkungan Lainnya?
Menyikapi RTRW usulan Pemerintah Aceh, pada 7 Maret 2013, sekitar 18 organisasi non pemerintah lokal dan internasional mengirimkan surat kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan tembusan ke berbagai kementerian, lembaga negara dan kedutaan-kedutaan.
Kita meminta Kemenhut, tak menyetujui usulan itu. Dari hasil analisis usulan RTRW kita menyimpulkan beberapa hal, seperti perubahan fungsi kawasan lindung menjadi areal penggunaan lain (APL).
Ini sangat bikin kita sedih. Apakah mereka tak baca regulasi. Karena kawasan lindung itu, kawasan yang dilindungi untuk melindungi masyarakat itu dan satwa-satwa, jadi tak boleh diganggu gugat.
Dengan ada perubahan peruntukan begitu luas menimbulkan pertanyaan. Ada apa? Untuk apa? Jelas sekali ada upaya penyerobotan lahan publik oleh pihak tertentu yang dibungkus dalam balutan RTRW.
Jadi Apa yang dimaksud dengan RTRW?
Sesuai dengan regulasi yang ada, yaitu Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) merupakan Hasil Perencanaan Tata Ruang yang dilakukan untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dalam suatu kesatuan geografis, berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional.
Aspek penting dalam penyusunan tata ruang adalah melihat secara detail kondisi lingkungan dan ekosistem sebuah wilayah, termasuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah tersebut.
Apa manfaat RTRW bagi suatu daerah, dan apa dampak negatif dari tidak adanya RTRW bagi suatu daerah?
Tentu sangat penting keberadaan RTRW dan juga sangat bermanfaat. Karena menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan baik jangka panjang, menengah, demikian juga rencana kerja pemerintah jangka pendek.
Disamping itu juga penting sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang serta pengendaliannya. Sehingga memudahkan pemerintah dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar wilayah Kabupaten/Kota.
Hal lain juga untuk keserasian antar sektor di suatu wilayah. Disamping itu juga untuk kepentingan penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk keperluan investasi yang sesuai dengan kondisi ekologi (lingkungan) yang berpotensi rawan bencana.
Jadi sangat jelas bahwa RTRW merupakan acuan penting dalam melaksanakan pembangunan, serta untuk menciptakan harmonisasi lingkungan alam dan lingkungan buatan.
RTRW juga merupakan komponen penting dalam investasi di suatu daerah. Hal ini sangat jelas tergambarkan pada UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Jadi, UU ini mengamanatkan bahwa lokasi yang di tetapkan sebagai kawasan KEK harus sesuai dengan arahan RTRW dan tidak mengganggu lingkungan dalam hal ini adalah kawsan lindung.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa RTRW merupakan instrument penting dalam melakukan pembangunan dan investasi di daerah. Ketiadaan RTRW akan menghambat pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor.
Jika suatu wilayah/daerah tidak memiliki RTRW maka akan sangat sulit dalam menentukan rencana kerja maupun rencana pembangunan.
Jika hal ini tidak diatur maka dipastikan potensi bencana dan konflik akan semakin besar. Selain itu iklim investasi dan juga akan terganggu, sangat disayangkan juga kemudian wilayah kehidupan masyarakat akan semakin kecil bahkan hilang. Disamping itu juga kesimbangan alam dan ekosistem juga akan terganggu.
Apakah luas hutan lindung menjadi titik krusial dalam RTRW? Mengapa?
Luas hutan lindung memang menjadi hal penting untuk tidak dialih fungsi secara sporadis dan tanpa hasil penelitian yang akurat. Karena hutan lindung merupakan sumber air dan sumber kehidupan yang kelestariannya tetap harus dijaga.
Rasanya kita tak bisa membayangkan, jika dalam RTRW Aceh, banyak kawasan hutan lindung dan konservasi berubah status. Contoh saja rawa gambut Tripa, masuk dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) yang dilindungi , selain sumber air, sumber ekonomi ,juga sangat penting bagi kehidupan berbagai habitat satwa yang semakin hari semakin sedikit keberadaannya, bahkan diambang punah.
Jika di kawasan itu sampai rusak, maka sumber air juga akan hilang, sumber ekonomi musnah, serta habislah rumah orangutan paling besar di dunia ini.
Konflik antara satwa dan manusiapun bakal meningkat. Saat ini saja konflik antara satwa dan manusia sudah tinggi. Untuk itu jangan sembarangan merubah atau mengalihkan fungsi kawasan hutan lindung dengan menurunkan statusnya menjadi kawasan lain, karena resiko sangat tinggi, terutama bagi lingkungan dan keberlanjutan kehidupan semua makhluk hidup.
Berapa luasan ideal hutan lindung Propinsi Aceh ? Apa landasan hukumnya?
Menurut saya luas ideal seharusnya mengacu pada kondisi geografi dan topografi Aceh. Jika kita baca beberapa referensi yang ada, bahkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) Aceh yang penyusunanya sudah dilakukan, jelas sekali menyatakan bahwa Provinsi Aceh memiliki topografi wilayah datar hingga bergunung.
Wilayah dengan topografi daerah datar dan landai hanya 32 persen dari luas wilayah Aceh. Sedangkan wilayah berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas wilayah Aceh.
Lalu pertanyaannya apakah wilayah berbukit dan bergunung itu akan dibiarkan gundul alias botak? Belum lagi diantara bukit dan gunung itu mengalir puluhan hingga ratusan daerah aliran sungai.
Lalu jika bukit dan gunung sudah gundul, apakah kita akan membiarkan saja resiko bencana semakin meningkat? Padahal dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang pasal 19 ayat e, sudah diamanahkan bahwa dalam penyusunan RTRW haruslah memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Lalu dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 19 ayat 1, juga dimandatkan agar dalam penyusunan RTRW wajib didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang tujuannya untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat.
Sejauh ini saya tidak pernah tahu apakah KLHS tersebut sudah disusun atau belum.
Siapa yg menjadi biang kerok dari tidak tuntasnya penyusunan RTRW?
Ya, kita tidak ingin menuduh, tapi jelas sekali ada kepentingan politik disini. Bahkan kepentingan bisnis juga sepertinya sangat dominan. Kita tahu persis bahwa saat ini proses penyusunan RTRW berada dibawah kendali Legislatif dan Eksekutif Pemerintahan Aceh.
Kotak katik pola ruang untuk kepentingan bisnis dan kelompok tertentu juga sangat tinggi, dan ini yang menyebabkan tidak tuntasnya RTRW Aceh.
Contohnya dari catatan KPHA misalnya, konsesi izin pertambangan tumbuh marak di Aceh, seperti data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh 2012 menyebutkan, dari keseluruhan luas izin usaha pertambangan (IUP) sekitar 750 ribu hektar ada 500 ribu hektar dalam kawasan hutan, baik hutan produki dan hutan lindung, bukan APL.
Untuk itu, sudah seharusnya Pemerintah Aceh menghentikan semua kegiatan sektor pertambangan di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki izin pinjam pakai, bukannya melakukan perubahan status kawasan hutan menjadi APL.
Kajian itu juga memperlihatkan, kawasan-kawasan hutan, termasuk hutan lindung, cagar alam sudah ada hak guna usaha dan izin-izin konsesi, baik tambang, maupun HPH.
Kondisi ini menunjukkan, RTRW perubahan terindikasi “pemutihan” terhadap kawasan hutan lindung yang telah digunakan para pengusaha. Seharusnya, ada penegakan hukum terhadap mereka bukan malah melegalkan hutan lindung melalui usulan RTRW Pemerintah Aceh.
Lalu, ada 52 usul perubahan fungsi hutan memotong koridor satwa dengan luas 37.465 hektar, 32 perubahan fungsi hutan memotong habitat gajah seluas 61.140 hektar, memotong habitat orangutan 18.357 hektar, dan memotong habitat harimau seluas 183.083 hektar.
Lalu, 89 usulan perubahan fungsi hutan dalam hutan primer, dan 19 usulan perubahan di hutan sekunder.
Tata ruang sebagai blue print pembangunan harus menjawab semua kebutuhan rakyat bukan semua keinginan para pihak. Untuk itu, kajian mendalam sangat diperlukan dalam menyusun RTRW agar tak menimbulkan bencana ke depan.
Jika pemerintah berkeras menetapkan kawasan hutan Aceh sekitar 46 persen, apa yg akan dilakukan Walhi Aceh?
Saat ini Tim WALHI Aceh sedang melakukan uji sampling dan melihat kembali beberapa kawasan seharusnya dilindungi, namun diusulkan akan statusnya diturunkan apakah menjadi Hutan Produksi atau Area Penggunaan Lain (APL).
Jika berbagai bukti di lapangan menjelaskan bahwa benar ada penyimpangan dalam proses penyusunan RTRW Aceh, maka kita akan segera memberikan peringatan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW Aceh.
Dan sebagaimana kita ketahui nantinya RTRW Aceh ini akan ditandatangani oleh Menteri Kehutanan untuk mendapatkan pengesahan. Jadi bisa saja, jika berbagai proses lobi, negosiasi dan upaya non litigasi melalui advokasi dan kampanye tidak juga diindahkan, maka pilihan menempuh jalur hukum tentunya akan dilakukan oleh WALHI Aceh.
Adakah sesuatu dibalik penetapan kawasan hutan yang semakin berkurang ini?
Ya pasti ada, salah satunya penambahan areal untuk kawasan pertambangan, perkebunan besar seperti kelapa sawit dan juga proyek pembangunan jalan, kesemuanya ini memang harus diwaspadai.
Apakah benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau justru kepentingan pengusaha dan penguasa saja.
Lagi pula sudah jamak kita ketahui, begitu banyak program pembangunan yang ada, justru yang sejahtera ya kelompok itu saja, sementara rakyat semakin terpuruk dan ekonomi semakin morat marit.
Adakah dampak ekonomi yang signifikan dari pengurangan wilayah hutan?
Dampak ekonomi sudah pasti akan terjadi, apalagi jika bencana yang datang bertubi-tubi dan silih berganti.
Bertahun-tahun kita mencari rezeki untuk disimpan dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Datang bencana cuma beberapa detik, maka hilangkah seluruh harta benda yang ada, bahkan nyawa.
Lalu bukan hanya sumber ekonomi yang terganggu, air sebagai sumber kehidupan juga akan punah, lalu ketahanan pangan juga akan terganggu. Jadi dampaknya sungguh sangat dahsyat dan sistematis.
Untuk itu mari kita jaga lingkungan dan hutan kita, bukan cuma untuk kita tapi untuk anak cucu dan generasi yang akan datang kelak.
Qanun RTRW ini memang bukan hal yang baru lagi. Sejak kepemimpinan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar pembahasan RTRW sudah menuai kontroversi akibat Pemerintah mencoba menambah hutan lindung yang kemudian ada sebagian Kabupaten/Kota yang menolak.
Hal inilah yang membuat sejumlah aktivis lingkungan, diantaranya adalah Walhi Aceh menjadi gerah. Sehingga pada tanggal 18 Maret 2013 Aliansi Tata Ruang Aceh (ATRA), yang merupakan gabungan beberapa lembaga yang konsen terhadap lingkungan, diantaranya adalah Walhi Aceh menggelar aksi di depan Hermes Palace Hotel.
Saat itu peserta aksi langsung diterima oleh Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husni Syamaun yang sedang mengikuti kajian ilmiah tentang lingkungan bersama pakar lingkungan seluruh dunia.
Untuk mengetahui pemikiran dan alasan penolakan RTRW Aceh tersebut. Wartawan The Globe Journal berkesempatan wawancara secara esklusif bersama Direktur Walhi Aceh, T.M.Zulfikar. Berikut wawancara eklusif :
Apa yang Menjadi Persoalan dalam Penetapan RTRW Aceh Saat ini?
Persoalan dalam penetapan RTRW Aceh memang cukup beragam. Perlu diketahui bahwa usaha untuk penyusunan RTRW Aceh sudah dilakukan sejak tahun 2003 lalu, kemudian terhenti sejenak akibat tsunami di akhir tahun 2004.
Lalu pada masa rehabilitasi dan rekonstruski Aceh tahun 2006 hingga 2009 kembali disusun. Lalu pada tahun 2007 disahkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Seharusnya akhir tahun 2009 RTRW Aceh sudah selesai namun kenyataannya, hingga akhir tahun 2012 RTRW Aceh tidak kunjung disahkan.
Apa Persoalan yang Terjadi Sehingga Tidak Kunjung Selesai?
Persoalan yang dihadapi pada dasarnya adalah akibat kekurang Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki pemahaman terkait penataan ruang, khususnya tenaga perencana/planner dan GIS (Geographic Information System) di daerah.
Lantas Bagaimana?
Akibatnya telah memperlambat proses penyesuaian RTRW. Lalu terjadi berbagai konflik penggunaan ruang antar sektor kehutanan, khususnya hutan lindung yang dimasukan ke dalam kawasan lindung dan sektor di luar kehutanan yang dimasukan kedalam kawasan budidaya.
Terjadi tidak sepahaman antara pihak pemerintah Provinsi Aceh dalam hal ini BKPRA (Badan Koordinasi Penataan Ruang Aceh) dengan BKPRK (Badan Koordinasi Penataan Ruang Kabupaten) di tiap kabupaten.
Apa yang menjadi kehendak Provinsi?
Pihak Provinsi menghendaki penambahan hutan di tiap Kabupaten. Terjadi penambahan luas hutan dari luas semula sebesar ±3.248.892 hektar menjadi ±4.047.897 hektar.
Penambahan tersebut akan dituangkan kedalam RTRW Aceh, sehingga akan mempengaruhi pola ruang hutan di semua Kabupaten/Kota di Aceh.
Hal inilah yang terjadi penolakan hebat dari tiap Kabupaten/Kota terhadap usulah provinsi tersebut. Penolakan ini mengakibatkan usulan penambahan hutan tersebut tidak disetujui oleh pemerintah pusat.
Apa Keinginan Pemerintah Pusat?
Pemerintah pusat mensyaratkan dukungan dari setiap Kabupaten/Kota agar usulan ini dapat disetujui. Akan tetapi pihak Kabupaten/Kota tetap bersikeras dengan keputusaannya untuk tidak menambahkan hutan di daerahnya masing-masing karena akan mengurangi kawasan budidaya mereka.
Bahkan terdapat kawasan budidaya seperti pemukiman penduduk yang telah ada sejak lama, masuk ke dalam usulan penambahan hutan.
Ketidak sepahaman ini mengakibatkan deadlock antara pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota dan mengakibatkan berhentinya proses persetujuan substansi hingga tahapan rekomendasi gubernur yang diwewenangi oleh pemerintah provinsi dalam hal ini BKPRA.
Kemudian Apa yang Terjadi?
Permasalahan tersebut berbuntut panjang belum mendapatkan titik terang, hingga datanglah perwakilan dari empat kementerian untuk mencari solusi penyesaian masalah RTRW di Aceh.
Setelah diskusi yang panjang antara empat kementerian (Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Bappenas, Kementerian Kehutanan dan Kementrian Dalam Negri), pemerintah Provinsi Aceh (BKPRA) dan pemerintah tiap Kabupaten/Kota (BKPRK), diambillah sebuah kesepakatan untuk menunggu hasil Timdu (tim terpadu dari kementrian kehutanan) menyelesaikan verifikasi pola ruang provinsi berdasarkan usulan pola ruang Kabupaten/Kota.
Kesepakatan tersebut memang tidak cukup memuaskan bagi beberapa pihak khususnya Kabupaten/Kota karena akan memperlambat proses penyelesaian RTRW, tetapi hal tersebut merupakan jalan keluar dari konflik yang terjadi antara provinsi dan Kabupaten/Kota.
Ternyata hasil kerja Tim terpadu yang dibentuk Kementerian Kehutanan pada era Pemerintahan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tersebut ternyata tidak diterima secara baik oleh pemerintah Aceh yang saat ini sedang berkuasa.
Pihak Eksekutif baik di Kabupaten/Kota maupun Provinsi serta Legislatif masih tetap dengan kemauannya untuk tidak menambah kawasan hutan di Aceh.
Bagaimana dengan analisis Walhi Sendiri?
Dari hasil analisis WALHI Aceh dan organisasi lingkungan Aceh lainnya yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Hutan Aceh (KPHA), rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang diusulkan Pemerintah Aceh, saat ini menimbulkan banyak kekhawatiran.
Dari hasil analisis, alih fungsi kawasan dan peruntukan hutan dalam RTRW mengancam lingkungan, manusia dan habitat satwa langka di daerah ini.
Aceh, merupakan satu-satunya daerah di dunia yang memiliki satwa sekaligus: gajah, harimau, badak dan orangutan, dalam satu kawasan.
Hutan Aceh harus diselamatkan. Namun, bukan berarti alih fungsi kawasan hutan total ‘haram,’ tetapi harus melalui pengkajian matang dan mendalam serta melibatkan komponen masyarakat sipil.
Apa yang Telah Dilakukan oleh Walhi dan Aktivis Lingkungan Lainnya?
Menyikapi RTRW usulan Pemerintah Aceh, pada 7 Maret 2013, sekitar 18 organisasi non pemerintah lokal dan internasional mengirimkan surat kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan tembusan ke berbagai kementerian, lembaga negara dan kedutaan-kedutaan.
Kita meminta Kemenhut, tak menyetujui usulan itu. Dari hasil analisis usulan RTRW kita menyimpulkan beberapa hal, seperti perubahan fungsi kawasan lindung menjadi areal penggunaan lain (APL).
Ini sangat bikin kita sedih. Apakah mereka tak baca regulasi. Karena kawasan lindung itu, kawasan yang dilindungi untuk melindungi masyarakat itu dan satwa-satwa, jadi tak boleh diganggu gugat.
Dengan ada perubahan peruntukan begitu luas menimbulkan pertanyaan. Ada apa? Untuk apa? Jelas sekali ada upaya penyerobotan lahan publik oleh pihak tertentu yang dibungkus dalam balutan RTRW.
Jadi Apa yang dimaksud dengan RTRW?
Sesuai dengan regulasi yang ada, yaitu Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) merupakan Hasil Perencanaan Tata Ruang yang dilakukan untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dalam suatu kesatuan geografis, berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional.
Aspek penting dalam penyusunan tata ruang adalah melihat secara detail kondisi lingkungan dan ekosistem sebuah wilayah, termasuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah tersebut.
Apa manfaat RTRW bagi suatu daerah, dan apa dampak negatif dari tidak adanya RTRW bagi suatu daerah?
Tentu sangat penting keberadaan RTRW dan juga sangat bermanfaat. Karena menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan baik jangka panjang, menengah, demikian juga rencana kerja pemerintah jangka pendek.
Disamping itu juga penting sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang serta pengendaliannya. Sehingga memudahkan pemerintah dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar wilayah Kabupaten/Kota.
Hal lain juga untuk keserasian antar sektor di suatu wilayah. Disamping itu juga untuk kepentingan penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk keperluan investasi yang sesuai dengan kondisi ekologi (lingkungan) yang berpotensi rawan bencana.
Jadi sangat jelas bahwa RTRW merupakan acuan penting dalam melaksanakan pembangunan, serta untuk menciptakan harmonisasi lingkungan alam dan lingkungan buatan.
RTRW juga merupakan komponen penting dalam investasi di suatu daerah. Hal ini sangat jelas tergambarkan pada UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Jadi, UU ini mengamanatkan bahwa lokasi yang di tetapkan sebagai kawasan KEK harus sesuai dengan arahan RTRW dan tidak mengganggu lingkungan dalam hal ini adalah kawsan lindung.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa RTRW merupakan instrument penting dalam melakukan pembangunan dan investasi di daerah. Ketiadaan RTRW akan menghambat pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor.
Jika suatu wilayah/daerah tidak memiliki RTRW maka akan sangat sulit dalam menentukan rencana kerja maupun rencana pembangunan.
Jika hal ini tidak diatur maka dipastikan potensi bencana dan konflik akan semakin besar. Selain itu iklim investasi dan juga akan terganggu, sangat disayangkan juga kemudian wilayah kehidupan masyarakat akan semakin kecil bahkan hilang. Disamping itu juga kesimbangan alam dan ekosistem juga akan terganggu.
Apakah luas hutan lindung menjadi titik krusial dalam RTRW? Mengapa?
Luas hutan lindung memang menjadi hal penting untuk tidak dialih fungsi secara sporadis dan tanpa hasil penelitian yang akurat. Karena hutan lindung merupakan sumber air dan sumber kehidupan yang kelestariannya tetap harus dijaga.
Rasanya kita tak bisa membayangkan, jika dalam RTRW Aceh, banyak kawasan hutan lindung dan konservasi berubah status. Contoh saja rawa gambut Tripa, masuk dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) yang dilindungi , selain sumber air, sumber ekonomi ,juga sangat penting bagi kehidupan berbagai habitat satwa yang semakin hari semakin sedikit keberadaannya, bahkan diambang punah.
Jika di kawasan itu sampai rusak, maka sumber air juga akan hilang, sumber ekonomi musnah, serta habislah rumah orangutan paling besar di dunia ini.
Konflik antara satwa dan manusiapun bakal meningkat. Saat ini saja konflik antara satwa dan manusia sudah tinggi. Untuk itu jangan sembarangan merubah atau mengalihkan fungsi kawasan hutan lindung dengan menurunkan statusnya menjadi kawasan lain, karena resiko sangat tinggi, terutama bagi lingkungan dan keberlanjutan kehidupan semua makhluk hidup.
Berapa luasan ideal hutan lindung Propinsi Aceh ? Apa landasan hukumnya?
Menurut saya luas ideal seharusnya mengacu pada kondisi geografi dan topografi Aceh. Jika kita baca beberapa referensi yang ada, bahkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) Aceh yang penyusunanya sudah dilakukan, jelas sekali menyatakan bahwa Provinsi Aceh memiliki topografi wilayah datar hingga bergunung.
Wilayah dengan topografi daerah datar dan landai hanya 32 persen dari luas wilayah Aceh. Sedangkan wilayah berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas wilayah Aceh.
Lalu pertanyaannya apakah wilayah berbukit dan bergunung itu akan dibiarkan gundul alias botak? Belum lagi diantara bukit dan gunung itu mengalir puluhan hingga ratusan daerah aliran sungai.
Lalu jika bukit dan gunung sudah gundul, apakah kita akan membiarkan saja resiko bencana semakin meningkat? Padahal dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang pasal 19 ayat e, sudah diamanahkan bahwa dalam penyusunan RTRW haruslah memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Lalu dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 19 ayat 1, juga dimandatkan agar dalam penyusunan RTRW wajib didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang tujuannya untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat.
Sejauh ini saya tidak pernah tahu apakah KLHS tersebut sudah disusun atau belum.
Siapa yg menjadi biang kerok dari tidak tuntasnya penyusunan RTRW?
Ya, kita tidak ingin menuduh, tapi jelas sekali ada kepentingan politik disini. Bahkan kepentingan bisnis juga sepertinya sangat dominan. Kita tahu persis bahwa saat ini proses penyusunan RTRW berada dibawah kendali Legislatif dan Eksekutif Pemerintahan Aceh.
Kotak katik pola ruang untuk kepentingan bisnis dan kelompok tertentu juga sangat tinggi, dan ini yang menyebabkan tidak tuntasnya RTRW Aceh.
Contohnya dari catatan KPHA misalnya, konsesi izin pertambangan tumbuh marak di Aceh, seperti data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh 2012 menyebutkan, dari keseluruhan luas izin usaha pertambangan (IUP) sekitar 750 ribu hektar ada 500 ribu hektar dalam kawasan hutan, baik hutan produki dan hutan lindung, bukan APL.
Untuk itu, sudah seharusnya Pemerintah Aceh menghentikan semua kegiatan sektor pertambangan di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki izin pinjam pakai, bukannya melakukan perubahan status kawasan hutan menjadi APL.
Kajian itu juga memperlihatkan, kawasan-kawasan hutan, termasuk hutan lindung, cagar alam sudah ada hak guna usaha dan izin-izin konsesi, baik tambang, maupun HPH.
Kondisi ini menunjukkan, RTRW perubahan terindikasi “pemutihan” terhadap kawasan hutan lindung yang telah digunakan para pengusaha. Seharusnya, ada penegakan hukum terhadap mereka bukan malah melegalkan hutan lindung melalui usulan RTRW Pemerintah Aceh.
Lalu, ada 52 usul perubahan fungsi hutan memotong koridor satwa dengan luas 37.465 hektar, 32 perubahan fungsi hutan memotong habitat gajah seluas 61.140 hektar, memotong habitat orangutan 18.357 hektar, dan memotong habitat harimau seluas 183.083 hektar.
Lalu, 89 usulan perubahan fungsi hutan dalam hutan primer, dan 19 usulan perubahan di hutan sekunder.
Tata ruang sebagai blue print pembangunan harus menjawab semua kebutuhan rakyat bukan semua keinginan para pihak. Untuk itu, kajian mendalam sangat diperlukan dalam menyusun RTRW agar tak menimbulkan bencana ke depan.
Jika pemerintah berkeras menetapkan kawasan hutan Aceh sekitar 46 persen, apa yg akan dilakukan Walhi Aceh?
Saat ini Tim WALHI Aceh sedang melakukan uji sampling dan melihat kembali beberapa kawasan seharusnya dilindungi, namun diusulkan akan statusnya diturunkan apakah menjadi Hutan Produksi atau Area Penggunaan Lain (APL).
Jika berbagai bukti di lapangan menjelaskan bahwa benar ada penyimpangan dalam proses penyusunan RTRW Aceh, maka kita akan segera memberikan peringatan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW Aceh.
Dan sebagaimana kita ketahui nantinya RTRW Aceh ini akan ditandatangani oleh Menteri Kehutanan untuk mendapatkan pengesahan. Jadi bisa saja, jika berbagai proses lobi, negosiasi dan upaya non litigasi melalui advokasi dan kampanye tidak juga diindahkan, maka pilihan menempuh jalur hukum tentunya akan dilakukan oleh WALHI Aceh.
Adakah sesuatu dibalik penetapan kawasan hutan yang semakin berkurang ini?
Ya pasti ada, salah satunya penambahan areal untuk kawasan pertambangan, perkebunan besar seperti kelapa sawit dan juga proyek pembangunan jalan, kesemuanya ini memang harus diwaspadai.
Apakah benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau justru kepentingan pengusaha dan penguasa saja.
Lagi pula sudah jamak kita ketahui, begitu banyak program pembangunan yang ada, justru yang sejahtera ya kelompok itu saja, sementara rakyat semakin terpuruk dan ekonomi semakin morat marit.
Adakah dampak ekonomi yang signifikan dari pengurangan wilayah hutan?
Dampak ekonomi sudah pasti akan terjadi, apalagi jika bencana yang datang bertubi-tubi dan silih berganti.
Bertahun-tahun kita mencari rezeki untuk disimpan dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Datang bencana cuma beberapa detik, maka hilangkah seluruh harta benda yang ada, bahkan nyawa.
Lalu bukan hanya sumber ekonomi yang terganggu, air sebagai sumber kehidupan juga akan punah, lalu ketahanan pangan juga akan terganggu. Jadi dampaknya sungguh sangat dahsyat dan sistematis.
Untuk itu mari kita jaga lingkungan dan hutan kita, bukan cuma untuk kita tapi untuk anak cucu dan generasi yang akan datang kelak.
Posting Komentar