Jakarta: Qanun Aceh menyedot banyak perhatian. Jika simbol bendera GAM ada di bendera Aceh dikhawatirkan akan merusak situasi kondusif yang saat ini tercipta.
Menurut Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, secara kenegaraan ini tidak dibenarkan. Adanya Qanun Aceh justru berpotensi memanas-manasi untuk kembali terjadinya disintegrasi.
Nurul pun menjelaskan secara detil melalui pesan elektronik kepada Metrotvnews.com, Rabu (3/4). "Di dalam UU No 11 TAHUN 2006 tentang Pemerintahan Aceh, perlu dipahami secara jelas, terutama di dalam Bab IV tentang kewenangan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dan Bab V yang mengatur tentang urusan pemerintahan secara jelas menegaskan bahwa konstruksi kewenangan di dalam UU ini mengatur formula yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang paling ditekankan adalah Negara Kesatuan," jelas Nurul.
Menurutnya, tidak ada ruang tafsir bagi pembentukan negara dalam negara atau negara federal, karena pasti bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) UUD NKRI 1945. "Hanya lima urusan yang diatur dalam pasal 16 UU No.11 tahun 2006 yang diberikan privilege kepada pemerintahan Aceh.
Mengangkat bendera Aceh dalam konteks Negara Kesatuan adalah tidak dibenarkan secara hukum dan politik, serta bisa melanggar UU No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan," jelasnya.
Secara politik, menurut Nurul, sikap itu membawa efek psikologis bagi munculnya gerakan separatisme di Aceh yang telah setuju tunduk di bawah negara kesatuan RI sebagaimana yang telah dicantumkan dalam MoU Helsinky.
"Semua kalangan hendaknya memahami, bahwa M0U Helsinky janganlah dibaca secara letterlegh, tapi patut dibaca dalam satu spirit Negara Kesatuan RI. Komitmen itu yg harus dipegang teguh. Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, dan UUD NKRI 1945 adalah wadah dan filsafat kolektif yang menyatukan seluruh perbedaan di antara kita," tutup Nurul.***
Sumber: metronews.com
[jemp]
Menurut Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, secara kenegaraan ini tidak dibenarkan. Adanya Qanun Aceh justru berpotensi memanas-manasi untuk kembali terjadinya disintegrasi.
Nurul pun menjelaskan secara detil melalui pesan elektronik kepada Metrotvnews.com, Rabu (3/4). "Di dalam UU No 11 TAHUN 2006 tentang Pemerintahan Aceh, perlu dipahami secara jelas, terutama di dalam Bab IV tentang kewenangan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dan Bab V yang mengatur tentang urusan pemerintahan secara jelas menegaskan bahwa konstruksi kewenangan di dalam UU ini mengatur formula yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang paling ditekankan adalah Negara Kesatuan," jelas Nurul.
Menurutnya, tidak ada ruang tafsir bagi pembentukan negara dalam negara atau negara federal, karena pasti bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) UUD NKRI 1945. "Hanya lima urusan yang diatur dalam pasal 16 UU No.11 tahun 2006 yang diberikan privilege kepada pemerintahan Aceh.
Mengangkat bendera Aceh dalam konteks Negara Kesatuan adalah tidak dibenarkan secara hukum dan politik, serta bisa melanggar UU No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan," jelasnya.
Secara politik, menurut Nurul, sikap itu membawa efek psikologis bagi munculnya gerakan separatisme di Aceh yang telah setuju tunduk di bawah negara kesatuan RI sebagaimana yang telah dicantumkan dalam MoU Helsinky.
"Semua kalangan hendaknya memahami, bahwa M0U Helsinky janganlah dibaca secara letterlegh, tapi patut dibaca dalam satu spirit Negara Kesatuan RI. Komitmen itu yg harus dipegang teguh. Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, dan UUD NKRI 1945 adalah wadah dan filsafat kolektif yang menyatukan seluruh perbedaan di antara kita," tutup Nurul.***
Sumber: metronews.com
[jemp]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar