Home

Kamis, 25 April 2013

UN dan Ritual Pendidikan

Istilah “ritual pendidikan” paling tepat dilekatkan pada kondisi Ujian Nasional (UN/UNAS) yang

diadakan setiap tahun oleh pemerintah pusat melalui satuan kerja Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Mengingat ritual ini sebagai ajang kompetisi tahunan meraih kelulusan agar bisa

melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.


Sebut saja UN sebagai “ritual pendidikan” tahunan, ritual ini telah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Pelaksanaan pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan semakin ketat, hal ini bisa kita lihat

dari standar kelulusan hingga jumlah paket soal yang bertambah. Ritual kali ini berbeda dari tahun

sebelumnya, antara lain, variasi soal tediri 20 jenis untuk masing-masing bidang studi yang diujikan,

lembar jawaban satu kesatuan dengan naskah soal,pengaturan formasi tempat duduk, dan pemanfaatan

sistem barcode. Hanya saja untuk standar kelulusan pada tahun ini tidak berbeda dengan ketentuan

seperti tahun sebelumnya, yaitu nilai rata-rata minimal 5,5.


Disamping ketatnya ritual tahun ini, ternyata memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu

pengintegrasian nilai ritual (UN) dengan seleksi masuk perguruan tinggi. Peserta didik dapat

menggunakan nilai ritual sebagai ‘paspor’ masuk menuju Perguruan Tinggi yang dinginkan melalui

Seleksi Nasional Masuk Peguruan Tinggi (SNMPTN). Gagasan ini sebagai prasyarat masuk PTN

sebenarnya terinspirasi dari penggunaan nilai UN pada jenjang SD dan SMP sebagai prasyarat

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Seleksi melalui jalur SNMPTN dengan melihat

peringkat peserta dari rapor, rekam jejak (track record) di sekolah, dan peringkat nilai rata-rata UN. Hal

inilah yang mendasari ritual pendidikan tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya.

Fungsi Ujian Nasional (UN)


Pada prinsipnya niat pemerintah melaksanakan UN untuk tujuan baik, salah satu fungsi UN

adalah untuk pembinaan dan perbaikan mutu pembelajaran di sekolah. Dari hasil UN akan terlihat

sekolah mana yang bermasalah, sehingga dapat dijadikan alasan bagi Kemdikbud untuk melakukan

intervensi kebijakan. Intervensi yang dimaksud disini adalah dengan memberikan perlakuan khusus

terhadap suatu lembaga sekolah yang memiliki kelulusan UN di bawah rata-rata nasional, misalnya,

peningkatan kompetensi (materi dan metode belajar) bagi guru melalui program pelatihn, pengadaan

sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga dengan adanya perlakuan khusus akan memberikan

dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya dan kualitas UN khususnya.


Selain tujuan diatas, fungsi UN juga memberikan peran penting terhadap upaya peningkatan

mutu pendidikan, tentunya dengan melihat kuantifikasi nilai rata-rata kelulusan, dan juga sebagai

barometer keberhasilan dunia pendidikan secara nasional. UN dijadikan sebagai data informasi kepada

pemerintah, sekolah maupun orang tua. Dengan adanya UN dapat diketahui dimana kelemahan dan

kekurangan selama proses pembelajaran. Apakah itu menyangkut metode pembelajaran, materi,

ataupun kompetensi guru. Maka masalah yang dihadapi akan dapat didiskusikan solution planning.

Namun, sayangnya, format soal yang digunakan UN adalah pilihan ganda. Format semacam ini

disamping memiliki kelebihan juga memiliki banyak kelemahan. Sama sekali tidak mampu mengukur

kemampuan dan potensi akademis yang dimiliki oleh siswa secara holistik (Kompas, 19/04/2013).

UN hanya mampu mengukur kemampuan berpikir simple (sederhana) dan kemampuan

mengingat. Maka sangat disayangkan, pemerintah mengeluarkan banyak biaya ratusan miliar hanya

untuk mengukur memorisasi (kemampuan mengingat) atau lebih dikenal mengukur kognitif dalam

istilah Teori Bloom.


Kita mengetahui bahwa untuk mengases sejauhmana pembelajaran telah dikuasai peserta didik,

maka soal-soal tes yang diujikan harus mampu mengukur dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik.

Akibatnya, proses pembelajaran yang berlangsung selama ini hanya untuk menghadapi ritual pendidikan

tahunan (UN). Bukan pada pembentukan karakter, tanggung jawab, kreativitas, dan

bernalar, seperti yang diwacanakan dalam kurikulum 2013.


Pada sisi yang lain, menurut hemat penulis, secara ekonomis, adanya UN juga berdampak

menjamurnya tempat-tempat kursur persiapan menghadapi UN, menjamurnya jasa les amatir, baik les

private maupun les pada lembaga khusus. Ini sangat menguntungkan bagi siswa daerah perkotaan yang

notabennya orang mereka punya ekonomi lebih untuk membiayai anaknya belajar tambahan diluar

jadwal sekolah.


Lantas, bagaimana dengan siswa daerah terpencil (desa), orang tua mereka hanya pas-pasan.

Tidak mampu membiayai anaknya untuk belajar di lembaga kursus. Mungkin mereka akan pasrah

belajar di sekolahnya dan dirumah. Lalu bagaimana keadilan dalam pelaksanaan UN jika soal-soalnya

sama antara sekolah daerah perkotaan dengan sekolah daerah terpencil ?. Bukankah akan menimbulkan

kesenjangan antara siswa daerah perkotaan dengan daerah terpencil ?.


Krisis Kepercayaan


Memang disadari bahwa dalam pelaksanaan UN selalu saja ada kekurangan, meskipun telah

diatur sedemikian rupa disertai niat baik untuk memajukan pendidikan nasional. Mulai dari proses

pembuatan soal, pembuatan master, pengawalan master sampai pencetakan, dilakukan dengan

pengawasan dan pengawalan ketat. Demikian juga pada saat proses percetakan, karyawan cetakan

melakukannya dibawah pengawalan, serta pendistribusian soal dari percetakan sampai ke sekolah

juga dilakukan dengan standar pengawalan yang sangat ketat oleh Polisi atau Tim agar tidak terjadi

kebocoran. Meskipun usaha itu telah dilakukan sedemikian bagus, tetapi itu tidak dapat menjamin 100

persen UN bebas dari kecurangan. Pertanyaannya kemudian muncul, sejauhmana pengawalan yang

dilakukan ? Apakah pengawalannya juga benar-benar kredibel ?


Pelaksanaan UN 2013 yang amburadul, tidak serentak, sepertinya pertama kali terjadi sepanjang

sejarah pelaksanaan UN dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan terlambatnya

pendistribusian soal-soal ke sekolah, seperti yang terjadi 11 kabupaten di wilayah timur Indonesia.

Terlambatnya pendistribusian ini mengingat penunjukan percetakan naskah soal yang

sentralisasi pusat, pusat tidak memperhatikan wilayah geografis, tidak adanya saling percaya terhadap

daerah dalam penunjukan pencetakan. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, naskah soal itu diberikan

kewenangan untuk dicetak oleh Provinsi masing-masing sehingga keterlambatan dapat diminimalisir.

Nampaknya krisis kepercayaan pusat terhadap daerah ini disebabkan dari pengalaman tahun-tahun

sebelumnya yang berpotensi kebocoran. Mungkin inilah alasan bagi mendikbud untuk mengambil alih

pencetakan naskah soal dibawah panitia pusat.


Upaya pemerintah khususnya mendikbud dalam perumusan UN sebenarnya sudah maksimal,

mulai dari variasi soal 20 jenis, pengawasan oleh TIM perguruan tinggi ke setiap sekolah, tentunya

ini sebagai usaha pemerintah agar nilai UN benar-benar kredibel sehingga dapat digunakan sebagai

paspor masuk perguruan tinggi. Namun disisi yang lain, mengingat pemerintah pusat tidak adanya saling

percaya terhadap daerah untuk proses pencetakan di masing-masing provinsi. Akibatnya pelaksanaan

UN tidak serentak, amburadul, sehingga dapat merusak ‘niat’ pemerintah yang tadinya baik, menjadikan

UN kredibel dan sebagai paspor masuk PT.


Namun, sayangnya niat baik dan usaha pemerintah menjadikan UN ini benar-benar murni,

kredibel, dapat dipercaya sebagai paspor masuk PT rusak karena keabsahan nilai UN diragukan.

Keraguan ini terletak pada pelaksanaan yang tidak serentak secara nasional. Betapa tidak, UN tidak

serentak berpotensi kebocoran, belum lagi masalah kekurangan soal dan lembar jawaban. Pihak sekolah

diizinkan mem-foto copy sendiri dengan pengawalan TIM khusus. Meskipun dilakukan pengawalan,

tetap saja mempunyai celah kebocoran.


Belajar dari Pengalaman


Kegagalan masa lalu adalah guru paling berharga untuk bangkit memperbaiki diri, mungkin

istilah ini yang tepat untuk pemerintah saat ini khusunya dalam pelaksanaan UN yang amburadul. UN

2013 belum bisa dikatakan gagal meskipun dalam pelaksanaannya menyangkut kesalahan teknis saja.

Kesalahan teknis ini semata-mata karena keterlambatan distribusi naskah soal ke daerah. Banyak pihak

menilai teknis ini sangat fatal. Mengapa ? karena dengan penundaan UN, maka akan berpotensi pada

keabsahan nilai UN yang diragukan.


Ritual pendidikan telah lama dilaksanakan, meskipun dari awal telah dirancang sedemikian rupa.

Namun pada pelaksanaannya tetap saja ada kekurangan atau kelemahan. Seperti yang terjadi pada

pelaksanaan UN 2013. Sangat ironis, semestinya manajemen setingkat kementerian memiliki perangkat

control yang handal dan kredibel, sehingga dengan mudah dapat mengidentifikasi kemungkinan

penyebab berbagai hambatan, yang pada akhirnya akibat dari hambatan dapat diminimalkan (Suara

Merdeka.com, 22/04/2013).


Untuk itu, kedepan pemerintah khususnya harus mampu mengevaluasi dan memiliki alat control

yang baik sehingga tujuan peningkatan mutu dapat dicapai. Ketercapaian tujuan ini semestinya bukan

hanya tugas pemerintah, melainkan tugas kita bersama. Pihak sekolah, orang tua juga memiliki peran

penting dalam meningkatkan mutu pendidikan.


Salah satu usaha yang dilakukan guru, dan orang tua adalah memberikan kesadaran kepada

mereka, agar belajar dengan sungguh-sungguh. Tanamkan cita-cita mulia sejak kecil. Karena dengan

kekuatan cita-cita akan melahirkan bibit-bibit motivasi untuk terus belajar hingga meraih kesuksesan

dihari esok. Semoga pendidikan kita tetap jaya, karena pendidikan adalah mesin kemajuan suatu

bangsa. Wallahu a’lam bisshawab.


Mursalin A Manaf, adalah Mahasiswa Aceh di Rantau (Candidate Master Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang, Jawa Timur/ Pemerhati Pendidikan/Alumnus Erasmus Scholarship Italia,
2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar