Oleh: Rahmad Idris. Kabupaten Pidie secara geografis terletak pada 04,30 derajat-04,60 derajat Lintang Utara, 95,75 derajat-96,20 derajat Bujur Timur dan memiliki luas daerah 3.562,14 kilometer persegi dengan batas-batas daerah sebelah timur dangan dengan Kabupaten Pidie Jaya dan Bireuen. Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar. Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Tengah dan Utara berbatas dengan Selat Malaka. Serta memiliki 23 wilayah Kecamatan dan 94 kemukiman serta 730 desa (gampong-red).
Kabupaten Pidie juga memiliki areal persawahan yang lumayan luas yakni 29.415 hektare sawah dan berpenduduk 477.695 jiwa, hampir 80 persen penduduknya sebagai petani. Bahkan Pidie juga dijuluki sebagai lumbung padi di Provinsi Aceh. Pemkab Pidie dengan motto daerah yakni “Pang Ulee Buet, Ibadat. Pang Ulee Hareukat, Meugoe”. Yang artinya, sebaik-baik perbuatan adalah ibadah dan sebaik-baik pekerjaan adalah bertani. Jadi, motto daerah ini sesuai dengan kondisi dan pekerjaan mayoritas penduduknya.
Untuk bisa mempertahankan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) di Pidie, khusus terkait luasnya lahan pertanian daerah itu, masyarakat sangat membutuhkan air yang sehat guna mengairi sejumlah areal persawahan setiap musim tanam. Harapan itu masih jauh panggang dari api, jangankan maksud hati meningkatkan taraf hidup petani, air untuk mengairi sawah saja sulit.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pimpinan daerah, dalam hal ini bupati sering lakukan sidak pengairan yang ada di pelosok desa. Baru-baru ini Bupati Sarjani Abdullah juga melakukan sidak ke sepanjang saluran irigasi di daerah itu, namun kondisinya tidak berubah. Karena kondisi saat ini bukan pada saluran irigasi yang menyebabkan petani tak sejahtera, melainkan debit air yang tak mencukupi untuk mengairi seluruh areal persawahan.
Di sisi lain, dengan masih maraknya penebangan hutan di daerah itu misalnya, telah mengakibatkan terganggunya ekosistem alam dan hutan. Sehingga debit air yang dibutuhkan untuk menyuplai air bagi petani saat musim tanam tidak mencukupi. Hal itu disebabkan hutan di sekitarnya sebagai wadah penampung debit air sudah tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga petani hanya bisa menanam dengan normal pada musim rendengan (penghujan).
Sementara pada musim tanam gadu, hanya areal sawah di hulu sungai mendapat air yang cukup. Sedangkan petani yang areal sawahnya di hilir sungai tidak mendapatkan air yang cukup. Dengan kondisi demikian, petani di hulu bisa bercocok tanam dua kali dalam setahun, sedangkan yang di hilir hanya satu kali saja. Akibatnya, harapan masyarakat maupun pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup petani tidak pernah berhasil.Terkecuali, pemerintah mengusulkan pembangunan sebuah waduk untuk menormalisasi air bagi petani di daerah itu.
Daerah irigasi Baro Raya di Kabupaten Pidie mempunyai luas areal 19.118 hektare, terdiri dari 3 Sub DI masing-masing Sub DI Krueng Baro dengan luas areal 11.950 hektare sumber air dari Bendungan Keumala. Lalu Sub DI Krueng Tiro dengan luas areal 6.330 hektare dengan sumber air dari Bendungan Krueng Tiro dan Sub DI Krueng Reubee luas areal 838 hektare sumber air dari Waduk Reubee. Untuk dapat mengairi areal irigasi tersebut secara keseluruhan, tentunya membutuhkan debit air yang cukup yakni Sub DI Krueng Baro seluas 11.950 hektare diperlukan debit air 18,64 meter kubik/detik. Sub DI Krueng Tiro seluas 6.330 hektar diperlukan debit air 9,87 meter kubik/detik dan Sub DI Kreung Reubee seluas 838 hektare diperlukan debit air 1,31 meter kubik/detik.
Saat ini debit air pada Krueng Baro hanya sebesar 3,46 meter kubik/detik dan Krueng Tiro 2,66 meter kubik/detik. Dengan kondisi tersebut pada saat musim kemarau (gadu) sawah pada sub DI Krueng Baro hanya mampu diairi seluas 6.147 hektare dan sisanya 5.803 hektare tidak terairi. Demikian juga pada Sub DI Krueng Tiro hanya mampu diairi seluas 2.643 hektare, sisanya 3.687 hektare tidak terairi. Intensitas tanam dari kedua Sub DI tersebut hanya mencapai 140 persen/tahun, bahkan kurang pada saat tahun-tahun kering.
Penampungan Air
Uupaya untuk dapat terpenuhinya ketersediaan air, maka diperlukan bendungan atau waduk sebagai tempat penampungan air terutama saat musim penghujan dan akan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, terutama pada saat musim kemarau. Lokasi rencana kedua waduk tersebut adalah, untuk Waduk Rukoh di Desa Alue Dusun Blang dalam Kemukiman Tueng Peudeng, Kecamatan Titue dengan As bendungannya pada Krueng Rukoh. Sebagian dari genangan air juga menggenangi lahan perkebunan di Kecamatan Keumala, masing-masing di Desa Pulo Cahi, Pulo Seupeng, Desa Nicah, Kemukiman Keumala Dalam (Desa Pako dan Desa Teunong).
Sementara untuk Waduk Tiro terletak di Desa Blang Rukui dan Panton Beunot Kemukiman Blang Keudah, Kecamatan Tiro dengan bendungan pada Krueng Tiro. Kedua waduk tersebut mempunyai potensi alam yang berbeda, Waduk Rukoh mempunyai kapasitas daya tampung 124,42 juta meter kubik, tetapi debit rata-rata tahunan sangat kecil hanya 0,77 meter kubik/detik. Sedangkan Waduk Tiro mempunyai kapasitas daya tampung kecil 36,795 juta meter kubik air, sedangkan rata-rata tahunan sangat besar mencapai 6,67 meter kubik air/detik.
Secara topografi letak daerah aliran sungai (DAS) Krueng Tiro (dengan posisi bendungan pada elevasi +90) jauh lebih tinggi dari DAS Krueng Rukoh (dengan posisi As bendungan pada elevasi +60), maka air dari Waduk Tiro dengan sumber airnya cukup besar dapat disuplai ke Waduk Rukoh yang sumber air sangat kecil, yaitu dengan membuat saluran penghubung sepanjang 530 meter, sehingga kedua bendungan tersebut nanti terhubung. Pembangunan kedua waduk dilengkapi dengan warning sistem.
Tujuan dan manfaat kedua bendungan yang terhubung tersebut selain mengairi areal irigasi Baro Raya seluas 18.280 Ha (dengan rincian bendungan Rukoh mengairi Sub DI Krueng Baro 11.950 hektare, Bendungan Tiro mengairi Sub DI Krueng Tiro 6.330 hektare serta meningkatkan itensitas tanam 300 persen termasuk padi dan palawija). Air baku, pengendalian banjir, PLTA 2X2MW (total 4MW), pariwisata dan meningkatkan pendapatan masyarakat Pidie pada umumnya. (analisadaily.com)
Kabupaten Pidie juga memiliki areal persawahan yang lumayan luas yakni 29.415 hektare sawah dan berpenduduk 477.695 jiwa, hampir 80 persen penduduknya sebagai petani. Bahkan Pidie juga dijuluki sebagai lumbung padi di Provinsi Aceh. Pemkab Pidie dengan motto daerah yakni “Pang Ulee Buet, Ibadat. Pang Ulee Hareukat, Meugoe”. Yang artinya, sebaik-baik perbuatan adalah ibadah dan sebaik-baik pekerjaan adalah bertani. Jadi, motto daerah ini sesuai dengan kondisi dan pekerjaan mayoritas penduduknya.
Untuk bisa mempertahankan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) di Pidie, khusus terkait luasnya lahan pertanian daerah itu, masyarakat sangat membutuhkan air yang sehat guna mengairi sejumlah areal persawahan setiap musim tanam. Harapan itu masih jauh panggang dari api, jangankan maksud hati meningkatkan taraf hidup petani, air untuk mengairi sawah saja sulit.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pimpinan daerah, dalam hal ini bupati sering lakukan sidak pengairan yang ada di pelosok desa. Baru-baru ini Bupati Sarjani Abdullah juga melakukan sidak ke sepanjang saluran irigasi di daerah itu, namun kondisinya tidak berubah. Karena kondisi saat ini bukan pada saluran irigasi yang menyebabkan petani tak sejahtera, melainkan debit air yang tak mencukupi untuk mengairi seluruh areal persawahan.
Di sisi lain, dengan masih maraknya penebangan hutan di daerah itu misalnya, telah mengakibatkan terganggunya ekosistem alam dan hutan. Sehingga debit air yang dibutuhkan untuk menyuplai air bagi petani saat musim tanam tidak mencukupi. Hal itu disebabkan hutan di sekitarnya sebagai wadah penampung debit air sudah tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga petani hanya bisa menanam dengan normal pada musim rendengan (penghujan).
Sementara pada musim tanam gadu, hanya areal sawah di hulu sungai mendapat air yang cukup. Sedangkan petani yang areal sawahnya di hilir sungai tidak mendapatkan air yang cukup. Dengan kondisi demikian, petani di hulu bisa bercocok tanam dua kali dalam setahun, sedangkan yang di hilir hanya satu kali saja. Akibatnya, harapan masyarakat maupun pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup petani tidak pernah berhasil.Terkecuali, pemerintah mengusulkan pembangunan sebuah waduk untuk menormalisasi air bagi petani di daerah itu.
Daerah irigasi Baro Raya di Kabupaten Pidie mempunyai luas areal 19.118 hektare, terdiri dari 3 Sub DI masing-masing Sub DI Krueng Baro dengan luas areal 11.950 hektare sumber air dari Bendungan Keumala. Lalu Sub DI Krueng Tiro dengan luas areal 6.330 hektare dengan sumber air dari Bendungan Krueng Tiro dan Sub DI Krueng Reubee luas areal 838 hektare sumber air dari Waduk Reubee. Untuk dapat mengairi areal irigasi tersebut secara keseluruhan, tentunya membutuhkan debit air yang cukup yakni Sub DI Krueng Baro seluas 11.950 hektare diperlukan debit air 18,64 meter kubik/detik. Sub DI Krueng Tiro seluas 6.330 hektar diperlukan debit air 9,87 meter kubik/detik dan Sub DI Kreung Reubee seluas 838 hektare diperlukan debit air 1,31 meter kubik/detik.
Saat ini debit air pada Krueng Baro hanya sebesar 3,46 meter kubik/detik dan Krueng Tiro 2,66 meter kubik/detik. Dengan kondisi tersebut pada saat musim kemarau (gadu) sawah pada sub DI Krueng Baro hanya mampu diairi seluas 6.147 hektare dan sisanya 5.803 hektare tidak terairi. Demikian juga pada Sub DI Krueng Tiro hanya mampu diairi seluas 2.643 hektare, sisanya 3.687 hektare tidak terairi. Intensitas tanam dari kedua Sub DI tersebut hanya mencapai 140 persen/tahun, bahkan kurang pada saat tahun-tahun kering.
Penampungan Air
Uupaya untuk dapat terpenuhinya ketersediaan air, maka diperlukan bendungan atau waduk sebagai tempat penampungan air terutama saat musim penghujan dan akan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, terutama pada saat musim kemarau. Lokasi rencana kedua waduk tersebut adalah, untuk Waduk Rukoh di Desa Alue Dusun Blang dalam Kemukiman Tueng Peudeng, Kecamatan Titue dengan As bendungannya pada Krueng Rukoh. Sebagian dari genangan air juga menggenangi lahan perkebunan di Kecamatan Keumala, masing-masing di Desa Pulo Cahi, Pulo Seupeng, Desa Nicah, Kemukiman Keumala Dalam (Desa Pako dan Desa Teunong).
Sementara untuk Waduk Tiro terletak di Desa Blang Rukui dan Panton Beunot Kemukiman Blang Keudah, Kecamatan Tiro dengan bendungan pada Krueng Tiro. Kedua waduk tersebut mempunyai potensi alam yang berbeda, Waduk Rukoh mempunyai kapasitas daya tampung 124,42 juta meter kubik, tetapi debit rata-rata tahunan sangat kecil hanya 0,77 meter kubik/detik. Sedangkan Waduk Tiro mempunyai kapasitas daya tampung kecil 36,795 juta meter kubik air, sedangkan rata-rata tahunan sangat besar mencapai 6,67 meter kubik air/detik.
Secara topografi letak daerah aliran sungai (DAS) Krueng Tiro (dengan posisi bendungan pada elevasi +90) jauh lebih tinggi dari DAS Krueng Rukoh (dengan posisi As bendungan pada elevasi +60), maka air dari Waduk Tiro dengan sumber airnya cukup besar dapat disuplai ke Waduk Rukoh yang sumber air sangat kecil, yaitu dengan membuat saluran penghubung sepanjang 530 meter, sehingga kedua bendungan tersebut nanti terhubung. Pembangunan kedua waduk dilengkapi dengan warning sistem.
Tujuan dan manfaat kedua bendungan yang terhubung tersebut selain mengairi areal irigasi Baro Raya seluas 18.280 Ha (dengan rincian bendungan Rukoh mengairi Sub DI Krueng Baro 11.950 hektare, Bendungan Tiro mengairi Sub DI Krueng Tiro 6.330 hektare serta meningkatkan itensitas tanam 300 persen termasuk padi dan palawija). Air baku, pengendalian banjir, PLTA 2X2MW (total 4MW), pariwisata dan meningkatkan pendapatan masyarakat Pidie pada umumnya. (analisadaily.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar