Home

Kamis, 18 Juli 2013

Embargo Ekonomi vs Bendera Aceh

SAYA sering mendapati fenomena aneh di masyarakat kita, yakni wajah-wajah orang Aceh yang bermuka masam, murung dan pemarah. Awalnya saya mengira ini terjadi hanya di lingkungan komunitas saya sendiri. Lalu semakin hari saya saya lalui dan banyak orang saya temui ternyata raut-raut wajah demikian semakin familiar. Karena begitu familiarnya, saya menerka ini adalah sebuah fenomena unik. 

Dalam beberapa kesempatan saya memberanikan diri mempertanyakan persoalan di balik raut-raut wajah pada pemiliknya. Satu-dua orang menjawab ekonominya sedang mengalami masalah. 

Lalu, saya coba tanyakan kepada yang berseragam coklat, jawaban yang saya dapati pun sama. Hari-hari berikutnya, hampir di setiap pertemuan dengan teman dan kerabat diskusinya hanya berkaitan dengan ekonomi dan ekonomi. Untuk kemudian saya mencoba riset kecil-kecilan setiap kunjungan ke kedai kopi maupun pedagang sayuran dan profesi lainnya di Banda Aceh. Dari tauke kedai kopi sampai nyak-nyak pedagang sayur menjawab dengan jawaban yang sama, “pasaran sepi”. 

Saya menanggapi dengan skeptis, mungkin ini cuma fluktuasi pasar mencoba menghibur mereka, namun tanggapan yang semakin meyakinkan saya terima, sebagian dari mereka mencoba meyakinkan bahwa mereka telah lama berusaha dan tak pernah mengalami penurunan omset berbulan-bulan lamanya seperti akhir-akhir ini. Hal ini menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa, sehingga saya menghubungi beberapa kawan di kabupaten lain menanyakan keadaan ekonomi di sana. 

 Keadaan ekonomi terburuk
Dari Bireuen, seorang pemilik satu kedai kopi terbesar di daerah itu dengan mengejutkan menjawab: “Keadaan ekonomi terburuk selama 6 tahun terakhir.” Hal ini memaksa beliau untuk “merumahkan” beberapa karyawan kedai kopinya. Saya mencoba mencari data BPS dan kemudian menemukan Penurunan produksi terjadi pada Industri Manufaktur Mikro dan Kecil (IMK) Triwulan I yaitu sebesar -4,14% dibandingkan produksi IMK pada Triwulan I 2012. Sayangnya, BPS belum mengeluarkan update triwulan kedua. 

Dari sudut pandang di lapangan, pada saat meugang terakhir di Banda Aceh, di beberapa lokasi di Banda Aceh pedagang daging sapi pun masih menjual dagingnya hingga hampir tengah malam karena masih banyak tersisa. Sebuah pemandangan yang jarang terjadi sebelumnya. Ketika persoalan ekonomi dalam suatu wilayah sudah dirasakan oleh berbagai profesi, golongan dan lapisan masyarakat, maka saya kira fenomena ini sudah layak kita sebut krisis ekonomi atau boleh jadi Aceh sedang memasuki ancaman krisis ekonomi. 

Saya ingat ketika Radio Serambi FM membahas 1 tahun pemerintahan ‘Zikir’ yang melibatkan unsur pemerintahan dengan “hanya” memaparkan seputar hambatan mekanisme pengambilan kebijakan ini dan itu tanpa membahas persoalan yang sangat penting terjadi di masyarakat. Bisa jadi ini hanya sekedar lips service atau malah pemerintah pura-pura tidak tahu akan persoalan ini. 

Boleh jadi pemaparan saya di atas masih sekedar dugaan saya dan berpotensi besar keliru dan perlu ditindaklanjuti. Namun bahwa perekonomian di Aceh sangat bergantung pada anggaran pemerintah  adalah kenyataan pahit yang belum mampu ditanggulangi hingga saat ini. Ekonomi Ketuk Palu (meminjam istilah Arif Ramdan) yang belum juga usai setelah usainya perang di Aceh.

Fakta lainnya adalah penundaan pengucuran APBA karena masih dalam proses di Kemendagri karena harus disesuaikan seperti Qanun Bendera dan Lambang Aceh serta Qanun Wali Nanggroe. Pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden SBY tak merestui qanun tersebut berlaku di Aceh, saat ini sampai setidaknya bergantinya pemerintahan nasional baru di Indonesia. Secara tidak kasat mata, Pemerintah Indonesia sedang menerapkan embargo ekonomi terhadap Aceh. 

Embargo Ekonomi sebagai hukuman politik sudah sering diterapkan pada negara-negara yang bertikai. Masih ingat kita pada blokade ekonomi Israel atas Gaza yang dikuasai HAMAS, Amerika atas Irak dan juga Iran. Uniknya yang terjadi Aceh hari ini, adalah embargo ekonomi semu oleh pemerintah pusat atas provinsinya sendiri. Pemerintah pusat mengerti dan sadar sepenuhnya bahwa Aceh sangat lemah dan bergantung pada anggaran pusat. Bahkan jika saja Jakarta mau, penghentian supply bahan baku sembako dan BBM dari Medan pun dapat melumpuhkan Aceh seketika. Sehingga APBA adalah senjata paling lembut, namun membunuh perlahan-lahan.

Sampai titik ini akhirnya kita sadar, bahwa konflik Aceh-Jakarta belum juga usai. Menurut seorang narasumber yang sangat mengetahui proses perdamaian Aceh yang enggan dipublikasi namanya, menilai kedua pihak telah melakukan langkah mundur. Pihak ekskutif dan  legislatif Aceh seharusnya memutuskan identitas Aceh berdasarkan pada rencana masa depan Aceh, bukan pada masa lalunya. Pun Indonesia pada saat yang sama tidak lagi dapat menerima bahwa orang Aceh dapat menjadi orang Aceh sekaligus orang Indonesia tanpa harus melebihkan dan mengabaikan salah satunya.

Bagi masyarakat, tentu bukanlah masalah apabila terjadi konflik politik yang tidak berimbas langsung pada kehidupan masyarakat apalagi perekonomian Aceh. Akan tetapi penundaan pengucuran APBA yang disebabkan oleh konflik politik adalah sebuah bentuk kekerasan terselubung. Menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya jumlah pengangguran, potensi rontoknya usaha-usaha kecil menengah, sedikit-banyaknya akan menyebabkan jurang yang kian menganga antara kelompok menengah ke bawah dan menengah atas di Aceh. Bukankah hal yang demikian berpotensi besar mengakibatkan konflik sosial bahkan politik baru di Aceh?

Dalam konflik yang dewasa semestinya cukuplah pemerintah RI dan Pemerintah Aceh yang menuntaskan masalah-masalah terkait poin-poin perdamaian yang belum usai dan mengatur solusi yang bijak agar masyarakat yang tidak menjadi bagian masalah menjadi korban. Jika memang bendera dan lambang lebih urgent daripada ekonomi, silahkan ditanyakan kepada rakyat Aceh, tentang kesiapan rakyat Aceh menghadapi embargo ekonomi dan risiko-risiko lain yang mungkin akan terus berlangsung, setidaknya sampai terpilihnya kepemimpinan nasional baru di Jakarta. 

 Politik menjadi panglima
Ketika politik menjadi panglima, maka ekonomi akan tertinggal. Kita semua tahu bahwa kesejahteraan dan kemakmuran Aceh dapat menunjang segala orientasi dan cita-cita politik Aceh dan hal ini yang masih gagal untuk sukses di Aceh, karena minimnya sokongan pemerintah Aceh untuk membangun sektor usaha dan industri lokal di Aceh.

Pemerintahan Aceh yang berkarakter pro politik telah mengabaikan segala risiko ekonomi yang akan ditanggung oleh rakyat sebagai akibat dari gerakan-gerakan politik pemerintah Aceh terhadap pusat. Satu tahun pun berlalu sia-sia, bendera dan lambang belum dapat, masyarakat sudah babak belur akibat krisis. Tak satupun janji rezim ‘Zikir’ yang terpenuhi. 

Kita berharap krisis ini segera selesai dan pemerintah Aceh ke depan akan lebih fokus membangun perekonomian Aceh hingga benar-benar sejahtera dan mandiri. Sebagai penutup saya sepakat dengan pernyataan Nasrullah Dahlawi, Jubir PA Lhokseumawe dalam satu status facebook-nya: “Kalau mengejar dua ekor kelinci pada saat yang sama, Anda tidak akan dapat menangkap seekor pun”. Lanjutnya menurut Josh Billings, “Jadilah seperti perangko merekat pada sesuatu sehingga kamu tiba di tujuan”. Beliau juga menganjurkan agar kita fokus untuk mengejar kemakmuran dari pada yang lain yang menurutnya bisa ditunda.

* Helmy N. Hakim, S.IP, Pemerhati Sosial Politik Aceh. Email: hsamahani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar