Home

Jumat, 05 Juli 2013

Gempa Gayo, Momen Persatukan yang Retak

Aceh kembali ditimpa musibah. Kali ini menghujam daratan tinggi Gayo, terutama sekali Aceh Tengah dan Bener Meriah. Gempa berkekuatan 6,2 SR telah memporak-porandakan daerah penghasil kopi terbaik dunia itu. Sontak saja, siang yang semula tenang berubah menjadi riuh dan mencekam. Suara ibu-ibu menangis ketakutan, suara anak-anak merintih di bawah reruntuhan bangunan bersatu dengan suara gemuruh alam.        
 
Semula tak banyak yang mengira kawasan Gayo lah yang menjadi sasaran gempa. Karena daerah ini belum pernah mengalami musibah sedemikian rupa. Saat Aceh dilanda gempa 2004 lalu daratan tinggi menjadi tempat paling aman untuk mengungsi. Makanya, saat gempa 2 Juli 2013 terjadi kita tak risau dan mengira ini hanya gempa-gempa kecil yang memang akhir-akhir ini kerap melanda wilayah pesisir Aceh.

Gempa itu telah membuat wajah Gayo tak lagi ceria. Dalam hitungan menit puluhan warga ditemukan tak bernyawa; anak-anak, remaja, dewasa hingga balita menjadi korban. Rumah-rumah ambruk, gedung sekolah rata dengan tanah, rumah sakit hancur, masjid runtuh, tanah longsor. Gayo berubah wajah, kini menjadi suram.

Dan mereka yang ditinggalkan harus rela melihat orang-orang tersayang terbaring kaku. Namun, hidup tetap harus belanjut.

Musibah Gayo mengetuk pintu hati warga lainnya diberbagai daerah di provinsi Aceh. Di Ibu Kota, mahasiswa menggalang bantuan, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuka posko bencana, media menerima titipan sumbangan, perbankan hingga partai politik berduyun-duyun menyumbangkan bantuan. Seolah-olah musibah menjadi satu-satunya pemersatu bangsa yang sangat instan.

Kita pasti  masih ingat saat Aceh dilanda gempa dan tsunami 2004 lalu, semua orang merasa prihatin, Indonesia berduka, dunia berbela sungkawa, banyak negara datang membantu. Saat itu padahal Aceh sedang konflik dengan pemerintah pusat, namun pada masa berkabung konflik itu raib. Bahkan perdamaian yang sudah diancang-ancang dipercepat oleh dorongan air bah itu. Pada 15 Agustus 2005 Aceh berdamai dengan Indonesia.

Kemudian pemerintah Indonesia dibantu oleh lembaga-lembaga dunia membangun kembali daerah yang dihajar tsunami. Jalan di bangun, rumah, hingga biaya hidup diberikan. Terlepas banyak masalah dalam proses penyaluran bantuan korban tsunami.

Dalam konteks lokal (Gayo-red) belakangan ini hubungan kawasan dingin itu dengan pemerintah Aceh memang sedikit renggang. Riak-riak isu pemekaran daerah terus disuarakan. Pengesahan Lembaga Wali Nanggroe dan Bendera Bulan Bintang membuat suasana semakin ‘panas’. Kelompok-kelompok warga di sana melakukan aksi penolakan terhadap lembaga Wali Nanggroe bendera Bintang Bulan. Ancaman paling serius adalah ‘merdeka’,  membentuk provinsi sendiri yakni Aceh Leuser Antara (ALA), tak bedanya dengan ancaman Aceh kepada Jakarta, membentuk Negara sendiri.

Musibah datang. Konflik sudah tentu terkubur, setidaknya untuk sementara waktu. Orang-orang lebih mementingkan keselamatan keluarga dari pada mengurusi isu-isu politik.  Dan inilah saatnya bagi pemerintah Aceh untuk membuktikan bahwa perhatiannya kepada daerah itu tak beda dengan daerah lain.

Sisi positif yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah Aceh adalah berusaha mengambil hati dua daerah itu untuk kembali ke dalam pelukan provinsi induk. Caranya dengan menunjukkan keseriusan pemerintah untuk membangun kembali daerah itu menjadi seperti sedia kala, bahkan bila perlu menggantikan dengan wajah yang semakin cerah. Sama halnya saat musibah 2004 itu, Jakarta membangun Aceh dengan tampilan lebih mentereng.

Namun bila dalam kondisi musibah ini perhatian pemerintah Zikir tidak maksimal, maka jangan heran suara teriakan pisah akan semakin nyaring terdengar. Bila Aceh diibaratkan cermin ada satu-dua sudut yang sudah retak, dan inilah saatnya bagi Zikir menyatukan kembali.[]

Penulis adalah Kadiv Kampanye dan Media, Jaringan Survey Inisiatif (JSI)

Sumber:TGJ
[jemp]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar