Takengon – LintasGayo : Di Takengon Aceh Tengah, letusan petasan, kembang api dan meriam bambu serta arak-arakan kenderaan bermotor lebih meriah ketimbang gema Takbir dari lapangan-lapangan dan masjid tempat shalat Idul Fitri 1434 Hijriyah.
“Belum nyadar juga warga kita. Tidak cukup ujian diberikan dengan musibah gempa. Kita lebih suka bermegah-megah,” ujar seorang ibu rumah tangga warga Takengon, Wahyu kepada LintasGayo, Rabu 7 Agustus 2013 malam.
Senada juga diutarakan seorang perantau yang mudik ke Takengon. “Tanah Gayo seperti tidak pernah diretakan gempa. Beberapa hari yang lalu mereka berkata ‘saudara kita tertimpa musibah’. Namun malam ini uang meletus dan bersinar di langit Takengon,” kata Arfiansyah yang mudik dari Banda Aceh.
Rupiah dibakar hanya untuk kesenangan 1 menit. Sementara di atas tanah yang sama, saudara yang mereka perihatikan tidur berkasurkan tanah beratapkan plastik. Ujarnya miris.
“Tadi ku saksikan di bawah langit yang sama, seorang ibu dan anaknya mengaduk semen, sementara sang ayah mendirikan tiang calon rumah mereka, mengantikan yang dirobohkan alam. Lebaran esok entah dimana mereka menerima tamu. Demi kesenangan anak, rasa kemanusiaan masyarakat Takengon diledakan mercon dan kembang api,” kata dia lagi.
Menurutnya, nilai adat dan persaudaraan yang didambakan oleh kakeknya dulu “kita orang Gayo bersaudara. Budaya malu kita adalah perisai harga diri dan pagar rasa kemanusiaan” sudah musnah.
Sementara amatan LintasGayo, di Pegasing, hingga pukul 00.00 WIB Kamis 8 Agustus 2013 bertepatan dengan 1 Syawal 1434 Hijriyah, suara letusan petasan dan meriam bambu sudah berkurang dan gema takbir juga tidak terdengar. (Kha A Zaghlul)
“Belum nyadar juga warga kita. Tidak cukup ujian diberikan dengan musibah gempa. Kita lebih suka bermegah-megah,” ujar seorang ibu rumah tangga warga Takengon, Wahyu kepada LintasGayo, Rabu 7 Agustus 2013 malam.
Senada juga diutarakan seorang perantau yang mudik ke Takengon. “Tanah Gayo seperti tidak pernah diretakan gempa. Beberapa hari yang lalu mereka berkata ‘saudara kita tertimpa musibah’. Namun malam ini uang meletus dan bersinar di langit Takengon,” kata Arfiansyah yang mudik dari Banda Aceh.
Rupiah dibakar hanya untuk kesenangan 1 menit. Sementara di atas tanah yang sama, saudara yang mereka perihatikan tidur berkasurkan tanah beratapkan plastik. Ujarnya miris.
“Tadi ku saksikan di bawah langit yang sama, seorang ibu dan anaknya mengaduk semen, sementara sang ayah mendirikan tiang calon rumah mereka, mengantikan yang dirobohkan alam. Lebaran esok entah dimana mereka menerima tamu. Demi kesenangan anak, rasa kemanusiaan masyarakat Takengon diledakan mercon dan kembang api,” kata dia lagi.
Menurutnya, nilai adat dan persaudaraan yang didambakan oleh kakeknya dulu “kita orang Gayo bersaudara. Budaya malu kita adalah perisai harga diri dan pagar rasa kemanusiaan” sudah musnah.
Sementara amatan LintasGayo, di Pegasing, hingga pukul 00.00 WIB Kamis 8 Agustus 2013 bertepatan dengan 1 Syawal 1434 Hijriyah, suara letusan petasan dan meriam bambu sudah berkurang dan gema takbir juga tidak terdengar. (Kha A Zaghlul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar