Home

Kamis, 08 Agustus 2013

Suka Duka Berpuasa di Swedia

Asnawi Ali
TANPA banyak berteori, rasakan sendiri bagaimana menjadi orang miskin yang sering lapar dalam kehidupannya.  Begitu juga sambil bertamsil ”Jika tidak pernah makan cabe maka tidak akan pernah mengetahui bagaimana rasanya pedas”.  Ucapan itu yang saya jawab ketika wartawan TV dan koran lokal disini bertanya kepada saya mengapa berpuasa.  Kemudian, barulah argumen dari aspek religius dijawab alasan mengapa Muslim wajib berpuasa selama sebulan dalam setahun.


Muslim adalah kaum minoritas di Swedia.  Namun secara umum tidak ada permasalahan besar dalam merayakan hari besar umat Islam.  Bahkan, Swedia sudah lama menampung ribuan pengungsi Muslim yang berstatus pencari suaka dari negara-negara yang berperang di kawasan Timur Tengah, Bosnia, Eropa Timur, Afrika dan Asia Barat.


Saking banyaknya imigran, dalam salah satu bagian kota saja, di Swedia bisa ditemui ada berhimpun puluhan bangsa.  Di kota Örebro tempat saya tinggal--200 Km arah barat Stockholm--terdapat 60 bangsa berbeda yang mempunyai bahasa Ibunya selain bahasa Swedia.


Tidak dapat dipungkiri jika Islam berkembang masuk ke Swedia melalui imigran sejak tahun 1930.  Menurut azas demokrasi, sepanjang tidak melanggar konstitusi negara sekuler Swedia ini maka kebebasan penganut agama diberikan tempat untuk mengaktualisasikannya, termasuk bagi mereka yang tidak beragama sama sekali.


Menurut data peneliti dari Universitas Uppsala, awalnya jumlah Muslim di Swedia pada 1930 hanya 15 orang dan kini sekitar setengah juta orang dari data statistik 9,5 juta total penduduk Swedia.


Puasa Musim Panas 20 jam sehari

Selama setahun Eropa mempunyai empat musim berbeda dan oleh karena itu pula bulan Ramadhan bisa jatuh bergiliran musimnya.  Hal ini dimungkinkan karena jumlah perbedaan tahun Masehi dan Hijrah berbeda sepuluh hari.  Tahun lalu, tahun ini dan beberapa tahun-tahun kedepan puasa jatuh pada musim panas. 


Tahun ini, adalah puasa saya yang ke dua belas kali bukan ditanah air semenjak meninggalkan Aceh pada tahun 2001 lalu.  Nah, tidak berlebihan jika dikatakan Muslim yang berpuasa dirantau Eropa--jatuh pada musim panas--lebih berat daripada Muslim yang berpuasa di Aceh.


Sebagai perbandingan, hari pertama puasa di kota Örebro imsaknya jam 02:15 dan Magrib jam 22:12.  Bertambah beban lagi jika bekerja yang lebih sering menguras tenaga, lingkungan sekeliling yang tidak Islami, tambah faktor psikologi yang jauh dari kampung halaman sehingga membuat puasa 20 jam itu lebih sempurna beratnya.


Ketika musim panas di Swedia maka matahari lebih lama terbenam, tetapi lebih awal terbit karena salah satu negara Skandinavia ini berada di ufuk utara bumi.  Dari diskusi dan pembicaraan ringan di jejaring sosial Facebook, ada yang berpendapat jika muslim yang berpuasa di negara non muslim pahalanya lebih besar, apalagi khusus di wilayah Eropa yang sedang musim panas.


Bisa jadi benar.  Tetapi yang menimbulkan keraguan jika muncul fatwa pragmatis bila boleh berbuka meski matahari masih terlihat.  Fatwa ini pun bukan sembarang fatwa.  Datangnya dari lembaga pengajian Darul Ifta dan Al-Azhar Mesir pada tahun 2011 lalu yang intinya memungkinkan puasa diperpendek di Skandinavia ketika melebihi 18 jam dengan berpedoman pada menghitung berapa jam lamanya berpuasa di Mekkah dan Madinah.


Ada dua cara penentuan waktu puasa yang masuk dalam kondisi seperti daerah dekat kutub utara ini yaitu: berpendapat bahwa penentuan waktu puasa di daerah tersebut disesuaikan dengan negara terdekat yang masih memiliki pergantian siang dan malam atau juga puasa di daerah tersebut disesuaikan dengan lamanya waktu puasa di kota Mekkah dan Madinah.


Konon, beberapa Muslim di Swedia pada tahun 1980-an dulu, mereka sudah pernah berpuasa lebih pendek persis ketika puasa jatuh pada puncak musim panas.  Ada yang mengikuti, ada pula yang memilih alternatif lainnya seperti berhijrah sementara sebulan ke negara terdekat yang penduduknya mayoritas Muslim.  Mungkin terkesan aneh, tetapi jika sudah merasakan langsung bagaimana fenomena alam jika matahari terbit hampir 24 jam di utara bumi saat musim panas, maka fatwa baru dari orang yang berkualifikasi ulama pembaharuan perlu dipertimbangkan.
    

Meskipun Fatwa menimbulkan pro dan kontra, yang jelas tanpa kontroversial adalah; Allah tidak membebani seorang pun kecuali sesuai dengan kesanggupannya, sedangkan Islam berlaku untuk setiap tempat dan zaman, salah satunya yaitu puasa Ramadhan wajib bagi yang cukup syarat, kapan pun dan dimana pun ketika jatuh hilal.


Jika sebelumnya hanya melihat di TV dan membaca di surat kabar, kini berpuasa di musim panas yang sangat berat sedang saya rasakan, begitu juga kehidupan sebagai Muslim yang minoritas di Swedia.  Semoga kita termasuk dalam golongan beruntung yang dikategorikan pada Surat Al-Baqarah Ayat 183 yaitu menjadi orang-orang yang bertaqwa.



Laporan Asnawi Ali dari Eropa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar