Tips Dan Trik

Tradisi Berhari Raya di Aceh

DALAM sistem adat Aceh, Hari Raya Idul Fitri yang biasa disebut uroe raya, berlangsung selama satu bulan penuh. Bukan tiga hari seperti kelaziman di dunia Islam. Selama sebulan penuh, maka saling berkunjung tetap berlangsung dan kue uroe raya tetap berada di meja tamu.
Tradisi berhari raya selama sebulan ini seperti kebiasaan merayakan Maulid Nabi yang berlangsung selama tiga bulan. Maka dikenal peringatan Maulid Nabi pada awal, pertengahan dan penutup Maulid Nabi. Karena itu, perhitungan bulan di Aceh agar berbeda dengan perhitungan bulan di dunia Islam lainnya.
Orang Aceh mengenal Buleun Asan Usen sebagai sebutan untuk bulan Muharram, Buleun Sapha disebut bulan Safar, bulan Rabiul Awal dikenal sebagai Buleun Moklot, bulan Rabiul Akhir menjadi Buleun Adoe Moklot atau Moklot Teungoh, Jumadil Awal disebut Buleun Moklot Keuneulheueh, Jumadil Akhir dalam bulan Aceh disebut Buleun Kanuri Boh Kajee, Rajab disebut Buleun Kanuri Apam, Syakban menjadi Buleun Kanuri Bu, Ramadhan disebut Buleun Puasa, Syawal disebut Buleun Uroe Raya yang lagi kita nikmati sekarang ini, Zulkaedah disebut Buleun Mapet atau Meurapet, dan terakhir Zulhijjah dinamakan Buleun Haji.
Jika kita cermati, dari 12 bulan itu, lebih banyak nama bulan yang merujuk pada aktivitas makan atau kesenangan yang memberikan tanda bahwa negeri Aceh sebagai negeri yang makmur. Merujuk catatan, de Weert (Takeshi, 1984) yang pernah singgah ke Aceh tahun 1603, untuk menentukan Buleun Uroe Raya, di Kerajaan Islam Aceh Darussalam, maka warga berbondong-bondong turun ke kota dengan mata menatap bulan.
Jika bulan sudah tampak, maka puasa berakhir dan dimulai hari raya selama tiga hari sesuai dengan kebiasaaan di Turki (staring to the west anxious to see the new moon; and if the moon is seen, their fasting is over, and the following days are their Eater, which they celebrate for three days in Turkish manner). Jadi berhari raya selama tiga hari merupakan adat yang telah ditetapkan sejak lama di Aceh dan ini dipengaruhi oleh adat Turki, karena hubungan Aceh dengan Turki sangat akrab khususnya dalam aliansi melawan ekspansionisme barat di Asia Tenggara.
 Membaca hikayat
Setiap malam hari raya dipukul beduk (peh tambo) di meunasah sambil membaca hikayat kepahlawanan Aceh seperti Hikayat Malem Dagang, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Nur Parisi, Hikayat Hasan Husein dan sebagainya. Pada masa perang Aceh dengan kolonial Belanda, warga menambah dengan bacaan Hikayat Perang Sabil. Namun hal ini tidak berlangsung lagi setelah Belanda masuk ke Aceh, karena Belanda melarang rakyat membacanya. Pasalnya, hikayat ini dapat membangkitkan semangat perlawanan melawan Belanda. Sebagai gantinya maka dibaca Barzanji atau Dalail Khairat di setiap meunasah dan masjid.
Tradisi lain di Aceh menyambut uroe raya yakni pada malam takbiran disalurkan zakat fitrah kepada fakir miskin dhuafa agar mareka juga dapat bergembira pada 1 Syawal. Keuchik dan Teungku Meunasah melakukan pengawasan terhadap warga yang tidak berzakat serta menagih sesuai aturan Islam. Mereka dapat memaksa warga untuk mengeluarkan zakat fitrah.
Pada pagi uroe raya, warga mandi sunat hari raya, mengenakan pakaian baru, sarapan sedikit dan menuju ke tempat sembahyang dengan memuji Allah Swt sebagai rasa syukur kepada-Nya. Setelah itu bermaaf-maafan, mengunjungi kerabat, menziarahi makam orangtua atau saudara lain.
Pada masa kerajaan Aceh, sultan, uleebalang serta pembesar negeri menerima kunjungan bawahannya dan rakyat. Kalau sekarang disebut open house. Silaturrahim ini untuk mengakhiri dendam dan permusuhan. Maka dalam adat Aceh permintaan maaf dan mengakhiri permusuhan biasanya dilakukan pada uroe raya, hari perkawinan, dan hari kematian.
Pada uroe raya, warga diharuskan mencium orangtua, kakak, abang, nenek, paman di lutut atau dalam tradisi orang Jawa disebut
sungkem. Kini pemberian hormat dengan mengucapkan assalamualaikum serta bersalaman. Pada masa dulu dikenal adat beu euet beurale (mengangkat dua tangan di tangan atas kepala) atau dinamakan juga sembah jeurulang. Dalam adat Aceh dulu dilakukan untuk menghormati Sultan setelah beliau selesai melaksanakan sembahyang Hari Raya di Masjid Raya Baiturrahman (Braddell, 1851). Sekarang adat ini tidak dilakukan lagi karena menganggap adat beu euet beurale adalah adat Hindu sebelum syiar Islam tiba di Aceh.
Pada Hari Raya Puasa dan Hari Raya Haji, suami-isteri berkewajiban mengunjungi orang tua kedua pihak. Khusus untuk pengantin baru akan mendapat hadiah uroe raya berupa uang dari mertuanya sebagai sambutan sembahnya. Lazimnya, hadiah uroe raya diberikan selama tiga tahun usia perkawinan. Memasuki usia perkawinan keempat, jangan berharap ada ‘salam tempel’ hadiah uroe raya.
 Hidangan uroe raya
Satu minggu sebelum hari raya, kaum ibu sibuk mempersiapkan berbagai menu hidangan kepada para tamu. Menu hidangan ini dalam adat Aceh sesuai dengan ciri khas negeri asal muasal orang Aceh. Kalau mareka keturunan Turki, Arab dan Persia akan menghidangkan kabab (daging panggang). Kalau keturunan dari India, mareka bangga menghidangkan masakan India.
Kalau berasal dari Pahang, Johor dan semenanjung tanah Melayu lainnya mareka akan hidangkan macam macam kuweh-muweh seperti Ondeh-ondeh (boh Meulaka), asoekaya (srikaya) dan kolak (peungat atau seurawa) dengan ketannya jang berbentuk tiga segi serta kuwe kekarah (karah).
Tradisi semenanjung itu dibawa ke Aceh pada saat Sultan Iskandar Muda metransmigrasikan 23.000 warga semenanjung ke Aceh untuk menambah penduduk Aceh yang kekurangan agar dapat menggerakkan roda ekonomi negeri, termasuk yang ditransmigrasikan saat itu adalah putri Kamaliah (Putro Phang), Raja Raden, Sultan Alauddin, Tun Seri Lanang dan lain-lain. (Linehan; 1964)
Kalau orang Batak akan menyuguhkan makanan hari raya termasuk tuwak, kemudian ini dilarang karena bertentangan dengan ajaran Islam, karena dulunya sebelum datang pendatang ke Aceh penduduk asli di sini adalah orang Batak, termasuk dalam kelompok ini adalah masyarakat Gayo. (Anderson; 1840)
Begitulah tradisi Aceh dalam menyambut dan memuliakan bulan Hari Raya. Karena masih dalam suasan uroe raya selama satu bulan penuh, penulis juga mengucapkan Seulamat Uroe Raya, 1 Syawal 1434 Hijriah, mohon maaf lahir batin!
* M. Adli Abdullah, SH, Lc, Dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: bawarith@gmail.com
Share this post :

Posting Komentar

 
Design By: Keude.Net | Support | CSS
Copyright © 2013. www.Aceh.us - menerima kiriman tulisan dan foto melalui email : Acehinfocom@yahoo.com
Pedoman Media Siber
INFO IKLAN