Home

Kamis, 05 September 2013

Cerita Kebesaran itu bukan tanpa Alasan!

Oleh: Taqiyuddin Muhammad

Karena tidak ada apa-apa yang bisa dimasukkan ke mulut untuk sarapan pagi, atau untuk persiapan melewati tengah hari yang tampaknya juga tidak akan ada keributan apa-apa di bagian dapur rumah, ya jadi cuma duduk-duduk saja, dan sesekali memandang awan sambil berandai-andai jika awan membalut sesuatu yang bisa ditelan, ikan pepes, misalnya, atau teri dengan sebungkus nasi putih saja boleh juga! Tapi, awan tidak pernah turun ke bumi, mencapainya juga susah. Bingung! Akhirnya, berhenti berandai-andai.

Seketika menyusup ke benak, tanpa sebab pasti. Tiba-tiba saja. Yang menyusup itu bukan pula sesuatu yang dirindukan perut tapi satu makam di komplek pemakaman kesultanan Aceh Darussalam, Banda Aceh. Komplek pemakaman yang sering disebut dengan Kandang XII.

Teringat Sultan 'Alauddin Ri'ayah Syah bin Sultan 'Ali Mughayah Syah. Teringat sebagian kalimat yang terpahat di kuburnya. Kalimat ditulis dengan bahasa Arab yang terjemahnya: "Dialah orang yang berperang (ghazi) di jalan Tuhan semesta alam, penumpas kaum kafir dan musyrik, dan pencinta orang-orang fakir dan miskin."

Sultan itu demikian gagah, berani dan seorang pahlawan. Bangsa-bangsa Eropa mulai unjuk kekuatan imperialismenya. Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris mengancam negeri-negeri Islam yang kaya di timur belahan dunia. Tiba waktu bagi Sultan untuk memikul beban berat membebaskan negeri-negeri dari ancaman kesewenang-wenangan kekuatan imperialisme tersebut. Kala mengingat hal ini saya membayangkan wajahnya yang begitu berwibawa, tapi dalam waktu yang sama ia sangat mencintai orang-orang yang lemah, fakir dan miskin. Ia seorang yang lembut hatinya dan pemurah. Pribadi pemimpin yang benar-benar agung. Wajar, bila Aceh kemudian tercatat sebagai sebuah negeri besar dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Cerita kebesaran itu bukan tanpa alasan, dan yang jelas bukan karena cakap besar, tapi karena berani mengambil peran dan menanggung beban.

Terkesima dengan Sultan, cerita tentangnya patut pula diikuti dari paparan Bustanus Salatin karya Nuruddin Ar-Raniriy (disusun oleh T. Iskandar, 1966):

"Kemudian dari itu maka kerajaan Sultan 'Ala'uddin Ri'ayah Shah ibn Sultan 'Ali Mughayat Shah, pada hari Ithnain, waktu Dhuha, dua puluh hari bulan Dzul Qa'dah. Ialah yang mengadatkan segala isti'adat kerajaan Aceh Darussalam (ini penting--MS) dan menyuroh utusan kepada Sultan Rum, ke negeri Istambul, kerena menegohkan ugama Islam. Maka dikirim Sultan Rum daripada jenis utus (teknisi--MS) dan pandai yang tahu menuang bedil (penting--MS). Maka pada zaman itulah dituang orang meriam yang besar-besar. Dan ialah yang pertama-tama berbuat kota di negeri Aceh Darussalam, dan ialah yang pertama-tama ghazi dengan segala kafir (sama dengan keterangan inskripsi batu nisan--MS), hingga sendirinya berangkat menyerang Melaka (pangkalan Portugis--MS). Dan adalah ia keras pada segala barang hukumnya dan amat haibat segala kelakuannya. Dari karena itulah disebut orang akan dia Marhum Kahar (perlu dicermati--MS). Tetapi adalah sultan itu memberi nasihat akan segala ra'yatnya, lagi amat shafakat (Arab: Shafaqah: belas kasih--MS) akan segala hamba Allah (selaras dengan inskripsi--MS)."

Bustanussalatin menyebut tarikh wafat Sultan 'Ala'uddin pada tahun sembilan ratus tujuh puluh lima tahun (975 H), namun tanggal wafat yang lebih rinci dan tepat terdapat pada epitaf nisan kuburnya yang menyebut: 8 Jumadal Awal 979 H (1572 M).

Begitulah, cerita kebesaran itu bukan tanpa alasan! Sekarang tiba waktunya lagi untuk duduk-duduk saja, dan sesekali memandang awan di langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar