Ketua MK M Akil Mochtar - Foto: MI/Atet Dwi Pramadia/zn |
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
"Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata ketua majelis, sekaligus Ketua MK M Akil Mochtar saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (5/9).
Pemohon dalam pengujian UU dengan nomor putusan 6/PUU-XI/2013 ini adalah sembilan orang perwakilan masyarakat Suku Gayo, Aceh. Pasal yang dimohonkan adalah pasal 22 ayat (5) UU 8/2012 yang berbunyi, "Daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini."
Menurut pihak pemohon, pasal tersebut telah membagi daerah pemilihan (dapil) bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memecah Suku Gayo ke dalam dua dapil. Pemecahan itu menjadi pemicu kurangnya keterwakilan masyarakat Gayo yang duduk di kursi legislatif tersebut.
Dalam sidang perdana (28/1) silam, seorang pemohon, Mursid, yang diwakili kuasa hukumnya, Yance Arizona, mengklaim hilangnya keterwakilan masyarakat Suku Gayo secara nyata akibat pembagian Dapil Nanggroe Aceh Darussalam I dan II. Pembagian tersebut telah memecah empat kabupaten yang dihuni masyarakat Gayo, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Luwes, dan Bener Meriah.
"Sehingga, pada dapil II tidak ada satupun wakil Suku Gayo yang duduk di DPR. Sementara pada dapil I, masyarakat Gayo hanya mendapat 1 kursi dari 7 kursi yang diperebutkan," kata Yance saat itu.
Namun, dalam pertimbangannya, majelis menilai penghormatan konstitusi terhadap keberadaan masyarakat adat tidak ada relevansinya dengan penentuan dapil. "Karena siapapun yang terpilih menjadi anggota DPR dalam suatu daerah pemilihan sejatinya tidak lagi merepresentasikan suku ataupun masyarakat adat," kata hakim anggota, Arief Hidayat, saat membacakan pertimbangan hukum.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Perkumpulan Indonesian Parliamentary Center (IPC) sebagai pemohon pun menggugat UU yang sama. Pasal yang diajukan adalah Pasal 22 ayat (4).
Majelis pun menolak pengujian pasal ini. Alasannya, ketentuan pembagian alokasi kursi DPR dalam dapil merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sesuai situasi, kondisi, dan kebutuhan. Karenanya, pembentuk UU bebas menentukan metode penentuan dapil.
Selain itu, Majelis menjelaskan dapil merupakan salah satu unsur sistem Pemilu, dari dapil suara pemilih akan dikonversi menjadi kursi. Proses Pemilu perlu menyesuaikan kesesuaian metode pembagian wilayah nasional dengan prinsip kesetaraan suara setiap warga negara.
"Nilai suara setiap pemilih adalah sama dalam satu dapil, walaupun pertimbangan integrasi wilayah, kondisi geografis, dan kohesivitas penduduk tidak dapat diabaikan,” papar anggota majelis, Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangan hukum.
Terkait persyaratan penggunaan data sensus penduduk sebagai basis data penentuan dapil, hal tersebut merupakan urusan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan. Saat menentukan kebijakan itu, pembentuk UU mempertimbangkan sisi positif dan negatif dengan memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar dapil agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap dapil.
Sehingga, apabila ketentuan tersebut menyebabkan suatu daerah memiliki kelebihan keterwakilan atau kekurangan keterwakilan seperti dikemukakan pemohon, menurut majelis, persoalan itu merupakan permasalahan implementasi alokasi kursi DPR yang merupakan ranah kewenangan pembentuk undang-undang. "Pasal 22 ayat (4) UU Pemilu Legislatif berikut lampirannya tidak mengandung permasalahan konstitusionalitas norma," jelas Hamdan. (Lulu Hanifah)
Sumber: metronews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar