“Tempenya nggak ada, mas?”. Tanya saya kepada pelayan warung siang tadi. “Nggak e, mas, ibu nggak goreng lagi. Adanya keripik mas kalau mau”. Pelayan itu menjawab dengan logat Jawa sambil menunjuk ke sebuah wadah plastik berukuran besar di pojok meja. Di dalamnya terdapat banyak bungkusan plastik berukuran sedang. Sayapun mengambilnya dan seketika bicara dalam hati : “Oh, jadi ini gantinya”.
Siang tadi saya menikmati makan siang di sebuah warung sederhana di utara kampus UGM. Di tempat itu saya biasa memesan pecel atau gado-gado. Warung itu memang spesialis gado-gado. Setiap makan di tempat itu saya selalu mengambil lauk tempe goreng atau tempe bacem yang disediakan di atas piring di setiap mejanya. Tempe adalah makanan favorit saya. Setiap hari apapun menu makannya, tempe selalu menjadi pelengkapnya bersama tahu. Tempe goreng bahkan sering saya jadikan cemilan ketika menonton TV.
Namun dua minggu ini seiring dengan melambungnya harga kedelai, makanan favorit saya itu menjadi lebih sulit dijumpai di warung makan. Beberapah hari lalu ketika aksi mogok pengusaha tahu tempe berlangsung, tempe goreng bahkan tidak ada di warung langganan. Beberapa hari kemudian tempe kembali dijumpai meski ukurannya menjadi lebih kecil separuhnya. Hal itu terus berlangsung hingga kini.
Mahalnya harga kedelai yang berimbas pada naiknya harga tempe-tahu dan produk turunannya memang memusingkan banyak pihak. Tak hanya konsumen penikmat tempe yang makan siang dan sarapannya menjadi hambar, bukan hanya pembuat tahu tempe yang mengalami dilema, namun juga pengusaha warung makan yang harus mengambil keputusan sulit untuk menjual tempe sebagai menunya. Banyak warung yang tetap menjual tempe-tahu goreng atau bacem meski dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Dengan demikian mereka tak perlu menaikkan harganya. Namun tak sedikit pula yang akhirnya mengosongkan piring-piring tempe di warung mereka.
Sepiring gado-gado hambar tanpa tempe goreng atau tempe bacem.
Warung penjual gado-gado yang saya datangi tadi siang rupanya salah satu yang memutuskan mengucapkan selamat tinggal kepada tempe goreng dan tempe bacem yang biasanya mereka sajikan sebagai lauk gado-gado dan pecel. Meski mungkin hanya untuk sementara namun keputusan tersebut cukup berasalan. Saat saya bertanya mengapa tak mengikuti cara penjual lainnya yang mengurangi ukuran, sang pelayan berkata jika ibu sang pemilik warung kesulitan untuk mengurangi ukurannya. Sayapun menjadi maklum karena sebelumnya tempe goreng yang biasa dijual Rp. 500 dan tempe bacemnya yang Rp. 1000 di warung tersebut memang sudah berukuran kecil sehingga akan semakin tampak aneh jika harus diperkecil lagi.
Namun ternyata tempe tak benar-benar hilang dari warung gado-gado tersebut. Sebagai gantinya sang pemilik warung menyediakan keripik tempe yang dikemas dalam plastik-plastik berukuran sedang. Harganya Rp. 1500 per bungkus berisi 8 potong keripik. Memang lebih mahal dibanding tempe goreng dan tempe bacem sebelumnya, namun menurut sang pelayan keripik tempe tersebut juga laku bahkan sering ada pembeli yang membelinya 2 bungkus sekaligus untuk dibawa pulang bersama gado-gado dan pecel.
Mengapa beralih ke keripik tempe?. Bukankah bahan dasarnya sama yakni tempe dan kedelai yang masih mahal saat ini?. Usut punya usut ternyata sang ibu pemilik warung mendapatkan keripik tempe tersebut dari pembuatnya yang biasa menjual keripik tempe ke sejumlah kedai snack eceran. Kedai-kedai snack eceran memang semakin banyak dijumpai di Yogyakarta.
Para pembuat keripik tempe umumnya membuat keripik dalam jumlah besar jauh sebelum harga kedelai naik. Oleh sebab itu ketika tempe menjadi langka di pasar atau harganya naik, keripik tempe masih banyak dijumpai dan harganya lebih stabil.
Hal tersebut mungkin tak banyak dipikirkan oleh para pemilik warung yang terbiasa menyediakan tempe goreng atau bacem. Mereka mungkin lupa jika ada olahan tempe lainnya yang tetap tersedia murah meski kedelai sedang naik harganya. Namun sang pemilik warung gado-gado tersebut berhasil melihatnya sebagai alternatif pengganti tempe goreng. Dengan menjual keripik-keripik tempe seharga harga Rp. 1500 per bungkus, ia tetap mendapat untung dan tak harus menggoreng tempe sendiri sehingga bisa menghemat biaya minyak.
Satu bungkus keripik tempe seharga Rp. 1500 menjadi pengganti tempe goreng yang tak kalah nikmat. Keripik tempe menjadi pilihan beberapa warung makan di tengah mahalnya harga tempe.
Para penggemar tempe seperti saya ternyata banyak yang bisa menerima keripik tempe sebagai pengganti sementara tempe goreng atau tempe bacem. Sifat masyarakat Indonesia yang gemar kerupuk pun boleh jadi menganggap keripik tempe sebagai perpaduan kerupuk dan tempe goreng yang tak kalah nikmat. Jadilah makan siang saya hari ini tetap lengkap dengan sepiring gado-gado dan keripik tempe yang gurih.
menyukai Anggrek Alam Indonesia | tidak suka rokok dan masakan pedas | www.wardhanahendra.blogspot.com | @_hendrawardhana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar