Home

Rabu, 09 Oktober 2013

Film Dokumenter, Realitas Potret Negeri Ini

MI/Adam Dwi/fz
Jakarta: Tidak seperti film fiksi yang bisa dibuat sesuai keinginan sang sutradara, melalui film dokumenter orang justru bisa melihat berbagai kenyataan yang ada di lingkungan mereka.
"Pada film dokumenter, Tuhan-lah sutradaranya," kata Sekjen Eagle Institute Indonesia Bambang Hamid kala menghadiri premiere Eagle Awards Documentary Competition 2013 dengan tema Harmoni Indonesia di Studio XXI Plaza Indonesia, Jakarta (9/10). "Saya bangga lima film dokumenter ini mampu ditayangkan di teater yang biasa menayangkan film fiksi," tambahnya.

Bambang menambahkan melalui lima film yang ditayangkan di Eagle Awards, masyarakat akan bisa melihat bagaimana saudara sebangsa mereka masih bercanda dengan maut di Aceh karena kemiskinan, masyarakat Samin yang melawan pabrik semen, masyarakat Jember yang membela Tanah Airnya dari penambang liar, masyarakat Kalteng yang terbelah karena kepentingan dan kemiskinan, dan masyarakat Ambon yang masih hidup ketakutan hingga kini. "Itulah potret negeri kita," ucapnya.

Sebanyak 10 finalis dalam 5 tim di Eagle Awards berhasil menyatukan puzzle realitas jadi film yang utuh. Kelima film ini bercerita perihal disharmonisasi lingkungan dan sosial yang terjadi kini. Diharapkan, karya-karya ini bisa memenuhi rasa ingin tahu tentang potret sebenarnya perihal Indonesia.

Kelima film tersebut yakni Hikayat dari Ujung Pesisir karya Cut Ervida Diana dan Darang Melati Z. Para Harimau yang Menolak Punah oleh Edho Cahya Kusuma dan Imanda Dea Sabiella, Provokator Damai oleh Rifky Husain dan Ali Madi Salay. Lalu 70.30 Sama dengan Tanda Tanya oleh Lanang Bagus Prasetyo dan Iswadi. Dan, Barisan Gendeng di Pusaran Industri oleh William Wijaya Saragih dan Rizki Rengganu Suri Perdana.


Sumber: metronews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar