* Terungkap dalam Penelitian
BANDA ACEH - Ribuan pasangan suami istri (pasutri) di Aceh saat ini tak memiliki akta nikah. Pernikahan yang tidak tercatat itu tak memiliki kekuatan hukum sebagaimana bunyi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang digunakan sebagai hukum materiil di pengadilan agama. Hal ini tentunya berdampak negatif jika nantinya terjadi permasalahan dalam sebuah pernikahan.
Jumlah pasutri tak berbuku nikah itu terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan sebuah program kerja sama Pemerintah Australia dan Indonesia, khususnya Aceh, yaitu Local Governance Innovation for Communities in Aceh (LOGICA2). Temuan itu disampaikan dalam Workshop Membangun Rencana Aksi untuk Advokasi Isbat Nikah Tingkat Provinsi yang diselenggarakan Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh di Hotel Oasis Banda Aceh, Selasa (8/10).
Dalam workshop tersebut, LOGICA2 membeberkan data bahwa 1.608 pasutri di dua kabupaten, yaitu Pidie Jaya (Pjay) dan Bireuen, tidak memiliki akta nikah. Padahal, mereka sudah menikah cukup lama. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa kategori yang paling banyak adalah mereka yang menikah pada saat Aceh dilanda koflik bersenjata.
“Ada empat kabupaten/kota yang kita teliti dengan mendatangi dan mewawancarai langsung masyarakatnya serta memberi kuesioner untuk dijawab. Keempat kabupaten/kota itu adalah Pijay, Bireuen, Aceh Tengah, dan Aceh Timur. Tapi data konkret yang sudah kita rekap itu baru dua kabupaten, yaitu Pijay dan Bireuen,” kata Senior Technical Officer LOGICA2, Khairani Arifin SH MHum kepada Serambi seusai mengisi workshop.
Dalam pemaparan hasil penelitiannya, tercatat ada 1.064 pasutri di Pijay yang tersebar di enam kecamatan dan 72 desa dampingan yang tak memiliki akta nikah. “Ke-72 desa itu baru sampel yang kita teliti, karena di Pidie Jaya ada 222 desa. Tak jauh beda dengan Pidie Jaya, di Bireuen dari empat kecamatan dan 34 desa yang diteliti, ada 544 pasutri yang tak mengantongi akta nikah. Itu baru data di dua kabupaten dan jumlahnya sudah seribu lebih. Kemungkinan jumlah ini masih bertambah jika diteliti lagi di daerah lain,” ungkap dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.
Menurutnya, masyarakat masih tak memahami pentingnya akta nikahdan mereka juga tidak terbiasa dengan prosedur hukum yang berlaku. “Untuk mengurus isbat nikah itu kan ada prosedurnya, seperti menghadirkan para saksi. Nah, untuk menghadirkan saksi ini ke pengadilan mereka kan harus mengeluarkan biaya di samping biaya yang memang sudah disediakan untuk proses isbat nikah itu sendiri. Ini jadi salah satu alasan mengapa mereka tidak mengurus isbat nikah. Apalagi kebanyakan mereka adalah masyarakat yang kurang mampu,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan responden dalam penelitian itu, kata Khairani, penyebab mereka tak memiliki akta nikah cukup beragam. Di antaranya, karena pernikahan dilangsungkan pada masa konflik atau akta nikahnya hilang atau terbakar, serta alasan lainnya.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Prof Dr Syahrizal Abbas MA melihat hal ini sebagai satu permsalahan yang serius dalam melakukan advokasi isbat di tingkat provinsi. “Dari workshop ini diharapkan dapat dicari format dan solusi atas apa yang dihadapi masyarakat Aceh akibat konflik masa lalu, terutama bagaimana memperoleh akta nikahsecara resmi. Oleh karenanya, kami mengundang seluruh stakeholder terkait dalam workshop ini untuk memikirkannya,” kata Syahrizal.
Sementara itu, Gubernur Aceh dalam sambutan yang dibacakan Sekda Drs T Setia Budi mengatakan akta nikah adalah dokumen negara yang penting dimiliki oleh pasangan yang sudah menikah secara sah bagi pemenuhan hak, khususnya perempuan dan anak, dalam mendapatkan pelayanan publik.
“Ini adalah masalah serius yang dihadapi oleh ribuan keluarga dalam masyarakat Aceh yang menikah pada masa konflik sebagaimana hasil penelitian LOGICA2. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu merespons lebih serius persoalan ini, termasuk memberikan kemudahan dan dukungan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengesahan pernikahan (isbat nikah), sesuai dengan prosedur yang dapat ditempuh,” katanya.
Di akhir workshop, ada empat rekomendasi yang dihasilkan yang ditujukan kepada empat lembaga di Aceh. Pertama, untuk Dinas Syariat Islam Aceh yang diharapkan dapat menyediakan program dan anggaran untuk menyelesaikan maslah isbat nikah. Di samping perlu dibuat kebijakan yang dapat mendukung pemenuhan hak masyarakat untuk isbat nikah, khususnya korban konflik dan bencana alam.
Rekomendasi kedua ditujukan kepada Mahkamah Syar’iyah agar dapat membuat mekanisme yang sederhan dan efektif bagi masyarakat yang mengajukan isbat nikah. Mahkamah Syar’iyah juga diminta mengawasi proses persidangan isbat nikah secara adil dan terbuka.
Rekomendasi ketiga untuk Kanwil Kemenag Aceh yang diharapkan dapat membuka upaya-uapaya bagi masyarakat untuk mendapatkan buku nikah dengan biaya yang sesuai dengan aturan.
Rekomendasi terkahir disampaikan kepada Kanwil Kemenkum HAM Aceh untuk dapat melakukan penyukuhan tentang hukum perkawinan dan kebijakan terkait isbat nikah. (sr)
sumber : http://aceh.tribunnews.com
sumber : http://aceh.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar