Tips Dan Trik

Pemerintah Abai Atasi Konflik Agama di Aceh

JAKARTA - Kasus intoleransi kehidupan beragama terus terjadi di Aceh. Terakhir, penyerangan menimpa kelompok pengajian Abu Alimin lantaran komunitas tersebut dinilai sesat oleh masyarakat lainnya.

Kendati Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Besar telah mengeluarkan fatwa kelompok pengajian tersebut tidak terbukti menyimpang dengan syariat karena tidak ditemukan bukti dan saksi, namun aksi penyerangan tetap terjadi.

Sehubungan dengan hal itu, juru bicara Komunitas Aceh untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA), Affan Ramli, mengatakan pemerintah seakan tidak peduli dengan konflik intoleransi dan MPU selaku lembaga resmi pemerintah yang telah mengeluarkan fatwa justru bungkam atas peristiwa penyerangan.

"Situasi intoleransi beragama di Aceh berada di sangat buruk dan negara tidak melakukan apapun untuk menyelesaikan masalah itu, untuk melindungi hak-hak korban," katanya saat jumpa pers bersama para korban di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2013).

Menurut dia, kejadian intoleransi dalam kehidupan beragama ini bukan untuk pertama kalinya terjadi. Sejak 2011, sudah terjadi sebanyak delapan kasus serupa. Sebagian di antaranya telah dinyatakan sesat.

Kasus tersebut di antaranya terjadi di Ujong Pancu (Aceh Besar), Lambteuba (Aceh Besar), Ateuk Lam Ura (Aceh Besar), Suka Damai (Banda Aceh), Guhang (Aceh Barat Daya), Nisam (Aceh Utara), Blang Bintang (Aceh Besar), dan Kuta Binjei Julok (Aceh Timur). Kemudian, komunitas Laduni (Aceh Barat) dan Mirza Alfath (Aceh Utara). Namun, tindakan pengusiran dan orang-orang tertuduh sesat oleh sekelompok masyarakat dan pensyahadatan ulang oleh MPU tidak memiliki dasar hukum apapun.

"Masalah ini telah mengakibatkan sedikitnya tiga orang terbunuh di Plimbang, 10 orang mengalami luka-luka, banyak warga diusir dari kampungnya, lebih dari 60 orang tidak berani pulang kampung, puluhan ibu beserta anaknya terintimidasi dengan kekerasan massa," tukasnya.

Affan menambahkan, terkait hal itu MPU sebagai lembaga publik atau lembaga resmi pemerintah dianggap melembagakan tradisi illegal, karena keputusan yang dikeluarkannya sangat berani menjatuhkan vonis sesat atas orang-orang tertentu sudah melampaui kewenangan yang dimandatkan qanun lembaga tersebut.

Dalam hal ini, MPU telah melakukan dua kesalahan dalam keputusan-keputusannya dengan memvonis seseorang sesat. Pertama, tidak menyerahkan fatwanya ke pemerintah melainkan ke publik itu berdasarkan UUPA tahun 2006, qanun Aceh no 11 tahun 2002,dan qanun Aceh no 2 tahun 2009.

Kedua, MPU tidak boleh mengeluarkan vonis sesat atas kelompok tertentu. Tetapi, MPU malah melakukan hal sebaliknya. Pasalnya vonis hanya bisa dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah sesuai qanun Aceh no 11 tahun 2002 pasal 19. "Melihat hal itu, pemerintah tidak melakukan apa-apa dan hanya diam," tuturnya.

Selain itu, Affan mengatakan, aparatur setempat baik itu tingka Desa maupun Kecamatan tidak mengambil sikap atas penyerangan yang terjadi di Kemukiman Lampageu. Sama halnya, dengan aparat kepolisian, tidak melakukan langkah-langkah preventif atas penyerangan tersebut.

Edi Saputra salah seorang korban, mengatakan, penyerangan dilakukan oleh warga diluar kemukiman Lampageu. Bahkan, dia menduga penyerangan itu terjadi atas arahan aparatur desa. "Sepertinya aparatur desa sengaja untuk mengundang warga untuk melakukan penyerangan," tegasnya.

Terkait hal itu, KAYA mendesak pemerintah Indonesia dan aparat keamanan untuk mengusut tuntas dan mengadili para pelaku kekerasan terhadap korban-korban tuduhan sesat, baik terhadap Aiyub dan murid-muridnya, maupun terhadap komunitas Laduni, Dayah Almujahadag, dan Dayah Miftahussaadah Hamzah Fansuri.

Lalu meminta Dinas Syariat Islam memperjelas batasan wewenang MPU dalam menangani perkara tuduhan ajaran sesat di Aceh. Terus mendesak Dinas Syariat menempuh judicial review melalui melalui Mahkamah Konstitusi untuk pembatalan pasal-pasal qanun yang bisa ditafsirkan oleh MPU atau dijadikan oleh MpU sebagai daar hukum mengeluarkan fatwa-fatwa sesat atau vonis sesat atas orang tertentu.

Kemudian, mendesak lahirnya peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang petunjuk teknik penyelsaian perkara atas tuduhan ajaran sesat dalam masyarakat yang menjamin tegaknya martabat manusia, hak asasi, keadilan, dan kesetaraan.

Terakhir, meminta pemerintah dan aparat keamanan untuk memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulihan nama baik, dan pemulihan ekonomi keluarga orang-orang yang dituduh sesat oleh masyarakat dan MPU.
Share this post :

Posting Komentar

 
Design By: Keude.Net | Support | CSS
Copyright © 2013. www.Aceh.us - menerima kiriman tulisan dan foto melalui email : Acehinfocom@yahoo.com
Pedoman Media Siber
INFO IKLAN