Tips Dan Trik

Kajati ingin DPRA segera bahas Qanun Jinayah

BANDA ACEH - Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh T.M. Syahrizal mengharapkan semua pihak mendorong legislatif agar segera membahas Rancangan Qanun Jinayah dan Raqan Hukum Acara Jinayah sehingga pelaksanaan syariat Islam di daerah itu bisa berjalan secara menyeluruh.

"Saya rasa semua elemen masyarakat Aceh berkepentingan dengan Raqan Jinayah dan Raqan Hukum Acara Jinayah. Oleh karena itu, mari kita dorong bersama agar legislatif segera membahas raqan tersebut menjadi qanun," katanya di Banda Aceh, hari ini.

Badan Musyawarah (Bamus) DPR Aceh telah menetapkan 14 Raqan yang akan dibahas dan disahkan pada tahun 2013, termasuk Raqan Jinayah dan Raqan Hukum Acara Jinayah. Namun hingga kini baru dua yang disahkan menjadi qanun.

Kajati menyatakan bahwa di Aceh di samping berlakunya aturan hukum positif yang umum, juga berlaku aturan-aturan hukum Islam sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan diperkuat dengan lahirnya UU Pemerintahan Aceh (UUPA) tentang berlakunya hukum Islam di Aceh.

Dikatakan, sebagai wujud impelementasi UU No.18 di bidang pidana (hukum jinayah) telah lahir tiga qanun, yaitu Qanun No.12/2003 tentang Khamar (minuman keras), Qanun No.13/2003 tentang Maisir (perjuadian), Qanun No.14/2003 tentang Khalwat (mesum).

Saat berbicara pada forum pengajian Kaukus Waratawan Peduli Syariat Islam di Rumoh Aceh, dia menjelaskan isi ketiga qanun yang mengatur tentang hukum materiil. Namun, sebagiannya juga mengatur hukum formil, yaitu hukum acara.

Ia mencontohkan di dalam ketentuan peralihan Qanun No. 13, yaitu Pasal 32 berbunyi, sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka KUHP (UU No.8/1981) dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun itu.

Oleh karena itu, aturan yang ada di dalam qanun jinayah yang mengatur tentang hukuman cambuk belum ada aturan formilnya. Maka, terbitlah Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat Cambuk, katanya.

Yang menjadi masalah dalam peraturan itu, kata Kajati, tidak terdapat aturan upaya paksa. Namun, lebih ditekankan kepada kerelaan terhukum untuk menghadiri eksekusi. "Ini yang menjadi kendala. Kami sebagai eksekutor tidak bisa memaksa terpidana apabila tidak mau hadir pada saat dieksekusi cambuk," katanya.

Disebutkan, sekarang ini banyak terdakwa yang sudah divonis, tidak bisa dieksekusi karena pada saat dilaksanakan mereka tidak mau hadir.

"Kalaupun ada terpidana yang dicambuk, memang itu kesadaran yang bersangkutan. Bagi mereka yang tidak mau, eksekutor tidak bisa memaksa," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Kajati, diperlukan Qanun Acara Jinayah, sehingga hal-hal seperti itu bisa diatur di dalam qanun. Kejaksaan sebagai eksekutor pelaksaaan syaraiat Islam berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 39 yang berbunyi,"Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam qanun sebagaimana dimaksud dalam UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh.

sumber: waspada inline
[jemp]
Share this post :

Posting Komentar

 
Design By: Keude.Net | Support | CSS
Copyright © 2013. www.Aceh.us - menerima kiriman tulisan dan foto melalui email : Acehinfocom@yahoo.com
Pedoman Media Siber
INFO IKLAN