Home

Rabu, 27 Februari 2013

Pesona Wisata Pulo Bunta

SAYA tak sabar ingin segera menjejakkan kaki di hamparan pasir putih begitu Pulau Bunta terbentang di depan mata. Dari jarak sekitar satu mil, saat masih berada di tengah laut, hamparan pasir putih terlihat jelas menghiasi pulau yang berada di gugusan Pulau Aceh, Aceh Besar.

Pagi ini, bersama tujuh kawan, kami menyewa boat di dermaga Ulee Lheue, Banda Aceh, menuju Bunta. Perjalanan mengarungi laut ditempuh dalam waktu satu jam. Beruntung, hari ini cuaca bersahabat. Angin laut yang biasanya mengganas, pagi ini adem-adem saja. Ombak pun nyaris tak ada: hanya deburan kecil yang membuat perahu kami seperti ayunan yang diikat di pohon kelapa di pinggir laut.

Saya yang biasanya mabuk laut, hari ini bisa duduk manis di samping “pawang boat” atau juru kemudi. “Kemarin ombaknya besar. Kalian beruntung,” kata nakhoda boat.

Ini perjalanan pertama saya menuju Pulau Bunta. Dan ini pengalaman kedua menyusuri perairan antara Pulau Batu dengan ujung barat Pulau Sumatera, Ujong Pancu. Di antara dua pulau ini, lautnya terkenal ganas. Saya pernah menempuh perjalanan dari dermaga Lampulo menuju Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, dua pekan setelah tsunami menyapu pesisir Aceh, enam tahun lalu.

Pada tanggal 14 Januari 2005, mesin boat yang saya tumpangi mati mendadak di tengah gempuran ombak setinggi dua meter. Boat oleng dahsyat. Seisi perahu pucat pasi. Dua jurnalis dari Jepang yang semula menikmati perjalanan, mendadak pucat. Saya berpikir inilah akhir perjalanan saya menyusuri dunia ini. Syukur, Tuhan memberi kami umur panjang dan membolehkan kami melanjutkan perjalanan ke Lhoong.

Saat menempuh perjalanan tadi, pengalaman mendebarkan di pembuka tahun 2005 seketika melintas di pikiran saya. “Hari ini lautnya tenang,” lanjut nakhoda boat bermesin 23 PK itu.

Benar saja, kami bisa menginjakkan kaki di hamparan pasir putih Pulau Bunta dengan mulus. Walaupun sempat kelimpungan di pinggir pantai, karena boat kami salah mendarat. Ya, Hasbi Azhar, sang navigator boat dadakan, salah memberi arah lokasi labuhan. Jadilah, ombak kecil mengaduk-aduk lambung boat.

Ehm, saya tak sabar untuk segera menyusuri bibir pantai berpasir putih. Tapi, harus saya tunda dulu, karena kami harus mempersiapkan segala keperluan logistik di rumah singgah.

DI TEPI pantai, perahu yang kami tumpangi oleng diayun ombak. Bang Aloy dan Jufri, nakhoda dan kernet boat, berusaha mengendalikan perahu. Sauh sudah dilempar untuk menghentikan laju boat akibat terjangan ombak. Saya yang duduk di belakang, di samping Bang Aloy, mengalami kepanikan. Uh, saya yang punya pengalaman buruk dengan laut, bertambah pucat-pasi. Saya juga khawatir dua gadget yang setia menemani saya bakal keciprat air asin.

Duo-awak boat ini berupaya keras memarkirkan boat lebih ke pinggir dan menambatkannya dengan tali yang sudah dipasang di jalur labuban boat. Masalahnya, Bang Aloy berlabuh bukan di jalur lazim. Penyebabnya, ya seperti saya sebutkan di awal, navigator dadakan kami salah memberi arah. Jadilah perahu kayu biru ini terombang-ambing. Beruntung, sejumlah pemuda di Pulau Bunta terjun ke air dan membantu perahu yang kami tumpangi parkir di tempat seharusnya.

Kami terpaksa harus mendarat di air sepinggang, gara-gara Bunta tak dilengkapi dermaga. Barang yang kami bawa dari daratan Aceh terpaksa digotong urun rembug, agar air tak menjamah.

Keindahan Bunta langsung menyergap begitu menginjakkan kaki di sana. Ada sisi pantai yang dipenuhi batu sungai yang tertata rapi bak di pekarangan rumah. Di sisi lain, hamparan pasir putih kontas di antara warna hijau laut dan pegunungan. Agak ke barat lokasi pendaratan kami, sebuah pulau kecil berdiri gagah. Di sini, lokasi yang sering dijadikan warga sekitar untuk menjaring ikan. Jika air surut, pulau ini bisa dijangkau dengan jalan kaki di atas batu dan karang.

Usai menyapu kiri-kanan pantai, saya bergegas ke rumah singgah yang kami jadikan basecamp. Berbagai peralatan kami ungsikan di sini. Dari teras rumah panggung itu, saya mencoba menikmati laut biru, yang di dalamnya sejumlah boat hilir mudik. Dari kejauhan, saya bisa melihat Pulau Breuh, mercusuar di Pulau Deudap, garis putih pantai Pulau Batee yang berpendar-pendar, dan pegunungan Ujong Pancu di ujung Sumatera.

Saya tak sabar ingin segera menyusuri Pulau Bunta. Sayang, kelelahan yang menyergap dan panasnya mentari siang itu, membuat saya harus mengalah. Angin sepoi-sepoi dari perbukitan yang ada di belakang rumah, ditambah hembusan angin laut, membuat saya terlena berteduh di rumah.

Sembari beristirahat, beberapa kawan menyiapkan makan siang. Ada yang langsung merogoh kamera dan mengabadikan berbagai sisi pulau yabg membuat mereka takjub. Ada pula yang asik memerhatikan burung yang terbang rendah di depan rumah kami. Saya memilih merebahkab badan, menghilangkan kepenatan. Belakangan, hembusan angin dan suara deburan ombak mengantarkan saya ke peraduan.

***

JAM di Xperia saya menunjukkan angka 16.20 WIB, ketika Hasbi Azhar membangunkan saya. “Mau ikut kami atau tinggal di sini?” tanya Hasbi. Dia merupakan pengelola perjalanan kami ke Pulau Bunta. Bersama Juliansyah Adjie, fotografer lepas ini membuka jalur wisata ke Pulau Bunta. Di sini, mereka menyewa satu rumah seharga Rp1 juta setahun.

Tentu saja, ajakan Hasbi tak bisa saya lewatkan. Gila, ke Pulau Bunta susah payah, hanya saya habiskan untuk tiduran? No! Walaupun saya tidak membekali diri dengan kamera dan alat pancing, saya akan menikmati keindahan Pau Bunta with my own way.

Xperia yang saya punya dibekali dengan kamera 8 megapixel, saya yakin dengan perangkat ini bisa mengabadikan eksotisme Bunta, dan berbagi dengan kawan-kawan saya di laman Twitter dan Facebook. Itu sudah lebih dari cukup buat saya.

Sore itu, saat matahari rebah di ujung pulau, kami mulai menyusuri kawasan itu. Kami memilih sisi barat pulau untuk bisa menikmati suasana sunset. Di sepanjang perjalanan, kawan-kawan saya tak berhenti membidik lensa kamera mereka ke berbagai objek: pepohonan, hutan kecil di pinggir pantai, laut surut yang memperlihatkan karang dan aneka ikan di sela-sela karang. Sesekali mereka mencari-cari posisi babi hutan.

Di semak-semak hutan kecil di bibir pantai yang kami lewati, kicauan burung sangat menghibur. Namun tak banyak burung yang kami lihat sore itu.

Melewati semak belukar, kami bertemu dengan jalur tracking yang menantang. Di sisi kiri kami ada bukit. Sebelah kanan kami, wow, jurang yang langsung laut. Jalur yang kami lalui hanya nyaman untuk satu orang. Jalan setapak itu jauh dari kesan mulus. Jaga langkah Anda, Hasbi Azhar selalu berpesan pada kami.

Ya, jalan setapak itu kadang-kadang dipenuhi dengan rintangan kayu, batang kelapa, batu, gundukan tanah, akar pohon yang melintang, tanah becek nan licin. Lengah, bisa-bisa terpleset ke laut. Jalur tracking yang kami tempuh sekitar tigaratus meter.

Saya yang tidak terbiasa naik gunung, jelas kualahan. Keringat membanjiri sekujur tubuh yang dibalut jaket. Nafas saya tesengal-sengal. Berkali-kali saya melambatkan jalan, memberi kesempatan pada kaki, paru-paru, dan jantung untuk rehat dan memulihkan tenaga. Saya termasuk peserta yang tertinggal di barisan belakang.

Pun begitu, saya menikmati tracking ini.

Setelah bersusah payah mencapai puncak, kami dihibur dengan pemandangan alam yang aduhai. Lihat, di ujung pulau itu ada lampu suar yang tak terurus. Tiga rumah beton-putih tak dihuni lagi. Atapnya entah ke mana. Jendela dan daun pintu juga tak berbekas.

“Dulunya dihuni oleh petugas lampu mercusuar,” kata Hasbi Azhar.

Menurut Hasbi, konflik bersenjata sebelum tsunami menerjang Aceh, enam tahun lalu, membuat petugas mercusuar memilih hengkang dari pulau ini. Jadilah rumah ini tak berpenghuni lagi.

Di depan kami, hamparan Samudera Hindia terbentang luas. Perahu nelayan hilir-mudik mencari laksa ikan di perairan yang tenang itu. Kapal tanker yang kami perkirakan milik sebuah perusahaan semen di Aceh ikut menyibuki laut yang tenang sore itu.

Di bawah lampu mercu suar, hamparan tanah lapang berumput hijau menyegarkan mata. Kami berlarian mencapai pantai, mencari sudut untuk dijadikan sasaran bidikan lensa.

Saya memilih ke sisi barat pantai yang dihiasi karang cadas mirip pemandangan Grand Canyon di Amerika. Hamparan batu sungai –bukan karang laut—memanjakan kaki setelah lelah menempuh perjalanan sekitar dua kilometer.

Eddy dan Juliansyah memilih sisi timur pantai. Di sini, mereka membidik lensa kamera ke segala penjuru. Susunan karang bertingkat membuat mereka nyaman mengabadikan pantai yang dihiasi pohon kelapa yang menjorok ke laut. Pulau Bunta mereka abadikan dalam berbagai angle gambar.

Di kejauhan, matahari mulai rebah. Warna jingga menghiasi kaki langit. Dari Ujong Bili, kami menikmati suasana matahari terbenam. Perahu nelayan yang mencari ikan atau sekadar melintas kawasan itu, menambah nuansa eksotis senja di Ujong Bili.

“Gila, indah banget pemandangannya,” kata Dian. Perempuan satu-satunya dalam rombongan kami ini, sudah menjelajahi sejumlah kawasan wisata di Indonesia. Dia pernah ke Lombok dan beberapa daerah lain.

Sore itu, Dian lebih memilih duduk dan tidur-tiduran di atas bukit yang menjorok ke laut, sembari teman-temannya memilih untuk berburu foto.

Perlahan matahari tenggelam di kaki langit. Gelap segera menyergap. Saat magrib menjelang, kami memilih beranjak dari Ujong Bili. Oya, dua kawan kami sedang berburu ikan di bawah bukit yang kami duduki. Tadi, begitu tiba di Ujong Bili, Irfan dan Ang Kim Ho, dokter anestesi di Banda Aceh, memilih menuruni bukit berkarang cadas untuk memancing.

Kami berusaha menyusuri mereka, karena hendak kembali ke basecamp dengan mengitari pulau kecil itu. Namun, kami kesulitan menuruni bukit. Jadilah, Irfan dan Ang Kim Ho memutuskan untuk menyusul kami di atas bukit Ujong Bili.

Sejam lebih Ang Kim Ho dan Irfan tak juga sampai ke lokasi kami, sementara gelap telah menguasai alam. Satu-satunya petunjuk komunikasi kami hanya dengan lampu senter. Sedangkan handphone yang mereka miliki tak bisa dihubungi. Jadilah kami berperasaan was-was.

Hasbi Azhar berusaha mencari jejak mereka. Namun gagal. Berkali-kali lampu senter diarahkan untuk memberikan kode untuk Ang Kim Ho. Aha, kami girang ketika Ang Kim Ho kembali memberi kode ke arah kami.

Hasbi dan Fahmi berlarian mendekati Irfan dan Ang Kim Ho. “Kami tadi tersesat, berputar-putar di tempat-tempat itu saja. Bukannya kami malah makin dekat ke sini, tapi dibawa kami makin menjauh entah ke arah mana,” kata Ang Kim Ho. Irfan terlihat pucat. Ia lelah, apalagi kakinya sempat kram ketika mendaki bukit tadi.

PENULIS | FAKHRURRADZIE GADE | PHOTO | HASBI AZHAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar