Home

Selasa, 19 Maret 2013

Pelajaran dari '21 Janji' ZIKIR

oleh: Andi Saputra
Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

“Janji tinggal janji” lirik dari sebuah lagu nostalgia masa lalu ini kerap dikonotasikan dengan perasaan kecewa terhadap alpanya realisasi pelbagai janji para politisi yang diikrarkan saat mereka membutuhkan rakyat di saat Pemilu. Luapan kekecewaan dari pelbagai lapisan masyarakat ini tidak hanya didapati di warung kopi sebagai tempat sentral informasi dan dialog politis sebagian besar masyarakat Aceh berlangsung, namun juga massif di dunia maya.

Di Aceh, Masih segar dalam memori kita bagaimana proses Pilkada tahun 2012 yang lalu dimulai dengan pro-kontra terhadap jalur perseorangan, berlangsung dengan beberapa peristiwa penembakan dan pembunuhan, dan berakhir dengan kemenangan bagi pasangan Zaini-Muzakir (ZIKIR) hanya dalam satu kali putaran. ZIKIR dengan nomor urut 5 saat itu memberi janji sebanyak dua puluh satu (21) janji. 21 janji tersebut kemudian terbukti mampu meningkatkan elektabilitas, menyingkirkan 4 pasangan pesaing lainnya dan menobatkan mereka sebagai pemenang pilkada.

Sejatinya, 21 janji tersebut akan dijadikan sebagai barometer oleh publik (pemilih) untuk menentukan sikap pada pemilu tahun 2014 ini. Akan tetapi, 21 janji ini juga tidak menjadi jaminan bagi maju-mundur nya Partai Aceh yang mengusung ZIKIR, meski seandainya tidak satupun dari 21 janji itu dipenuhi. Menyangkut realisasi 21 janji tersebut terdapat beberapa realitas politis yang bisa dijadikan pelajaran berharga untuk menentukan sikap menyambut pemilu legislatif dan Presiden 2014 ini.

Politik Aceh 
Terkait dengan komunikasi politik dan janji dalam kampanye sebelumnya di Aceh, ada beberapa hal yang harus dicermati untuk diketahui bahwa sikap rakyat terhadap realisasi 21 janji tidak sama dan akan saling mendominasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh tipologi pemilih yang berbeda. Ada empat tipe pemilih menurut Firmanzah dalam Marketing Politik (2008), 1. Pemilih rasional, pemilih yang memiliki orientasi tinggi pada kebijakan penyelesaian permasalahan (policy-problem-solving) dan berorientasi rendah untuk faktor idiologi, 2. Pemilih kritis, pemilih yang berorientasi pada kemampuan partai politik dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun pada hal yang bersifat idiologis, 3. Pemilih tradisional, pemilih yang memiliki orientasi idiologi sangat tinggi, dan 4. Pemilih skeptis, pemilih yang tidak memiliki orientasi idiologi cukup tinggi, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.

Kemenangan ZIKIR pada Pilkada 2012 yang lalu kembali menegaskan keberadaan mayoritas pemilih tradisional yang lebih mementingkan aspek idiologis. Meski kesan idiologis tersebut sedikit terkaburkan dengan kehadiran beberapa mantan Jenderal purnawirawan TNI dan beberapa Partai Nasional dalam Tim suksesi pemenangannya. 

Konsensus politik Aceh 
Beberapa kritikan terhadap berbagai janji politis di Aceh kerap muncul pasca proses pemilihan umum berlangsung, tapi tidak sesaat pemilu berikutnya akan dilangsungkan. HUDA misalkan, tidak lama setelah pelantikan ZIKIR langsung menyampaikan “harapannya” agar Zikir tunaikan janji ke rakyat (27/6/2012). Begitu pula dengan aksi dari elemen sipil, Koalisi Peduli Aceh (KPA) yang melakukan aksi di bundaran Simpang Lima Banda Aceh, menyoroti 100 hari masa Kepemerintahan ZIKIR. Salah satu tuntutan dalam aksi tersebut adalah janji ZIKIR akan memberikan Rp 1 Juta/KK dan naik haji gratis (The Globe Journal, 3/10/2012). Semakin mendekati Pemilu 2014 “tagih janji” semakin meredup dan rasionalitas seperti menghilang, lebih lagi bagi pemilih tradisional.

Menariknya, plesetan “Janji tinggal janji” justeru dianggap pemilih tradisional sebagai “gangguan” (noise) dari sekian persen pemilih rasional terhadap beberapa program legislasi prioritas pemerintah ZIKIR seperti Qanun Wali Nanggroe.

Namun, dalam hal ini ZIKIR justeru terlihat sangat baik dalam membangun image dan melakukan komunikasi politik dengan basisnya. ZIKIR yang telah menjadi penguasa semakin mudah menyampaikan pesan politis secara massif ke basisnya, basis tradisional. Penggantian paket “21 janji” dengan paket “Wali” adalah konsensus antara partai dan basis pemilihnya. Zikir mampu melakukannya dengan baik. 

Kampanye politik Aceh
“Tagih janji lama” seakan sudah tak penting diakibatkan setiap kali berjanji dalam kampanye disampaikan secara dramatis. Dramatisasi isu dijadikan jurus pamungkas untuk menghipnotis massa agar bermimpi pada “janji baru” yang imajiner dan memaafkan kesilapan dan kekurangan masa lalu. Bak kemarau setahun hilang oleh hujan sehari, begitulah dramatisasi isu masa lalu, fakta kekinian dan mimpi masadepan terus saja menjadi budaya kampanye di negara kita. Padahal menurut Key (1964), penyampaian informasi politis (kampanye) yang lebih menonjolkan aspek dramatis dari suatu isu politik merupakan kampanye negatif (negative campaign). Lebih dari itu, Informasi berlebihan (overloaded information) yang dimotori penuh muatan ideologi masing-masing dan bertolak belakang hanya akan berdampak pada peningkatan ketidakpastian (O’Reilly:1980).

Efek dari kampanye negatif, disengaja ataupun tidak, dipahami atau tidak, akan menyebabkan berbagai teori aplikatif marketing politik dan fenomena penyimpangannya mengalir seperti air dengan sendirinya ke tempat terendah hingga ke akar rumput (grassroot). Di tempat terendah itulah konflik rill akan terjadi, di tempat terendah itulah korban fisik tergeletak nyata, dan ditempat terendah itu pulalah meja perjudian elite diletakkan. Susun menyusun kartu-kartu konsolidasi, intimidasi, provokasi, infiltrasi, agitasi dan berbagai janji dikeluarkan untuk mendramatisir keadaan dan mempola arah pemenangan. 

Terhipnotis? ya! Pemilih tradisional akan kembali terhipnotis apabila ke-alpaan, kesalahan dan janji palsu bak kemarau setahun itu disiram kembali oleh hujan sehari (sebuah drama baru) menuju pemenangan pemilu 2014. Karena itu, perubahan perpolitikan Aceh yang lebih demokratis dan sportif sangat tergantung pada sejauhmana persentase pemilih cerdas dan kritis. Hal tersebut akan dapat dilakukan jika dimulai dari sekarang dengan mencerdaskan diri sendiri dan lingkungan untuk menjadi pemilih cerdas dan kritis. Semoga 2015 tidak ada lagi kata “terlambat." [tgj]

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar