Ilustrasi |
"Jalan tersebut bisa memotong jantung ekosistem. Indonesia sudah sangat banyak kehilangan hutan dan ini bisa seperti tsunami kerusakan hutan," kata William Laurance, peneliti keanekaragaman hayati Asia Pasifik dari The Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC) di Banda Aceh, Kamis (21/3/2013).
Mantan Presiden ATBC itu, bersama para peneliti dan spesialis keanekaragaman hayati dari negara-negara Asia Pasifik sedang menggelar konferensi di Banda Aceh, sejak 18 Maret 2013.
Menurutnya, bahaya yang ditimbulkan dari pembangunan jalan Gadia Galaska bukan saja kerusakan hutan permanen, namun mengancam ekosistem, keselamatan satwa-satwa, dan keanekaragaman hayati. Ini dinilai bisa menimbulkan bencana bagi kehidupan masyarakat.
Pembangunan jalan Gadia Galaska sudah direncanakan sejak 1988. Ada delapan jalan yang akan dibangun menembus lintas tengah yang menghubungkan pedalaman atau pegunungan Aceh dengan pesisir timur (Selat Malaka)-pesisir barat (Lautan Hindia).
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sempat menentang dengan menggungat program yang diistilahkan dengan jalan laba-laba tersebut. Terakhir Mahkamah Agung (MA) menolak pengajuan Peninjauan Kembali program itu, sehingga memungkinkan jalan-jalan itu akan segera dibangun.
William mengatakan, pembangunan jalan yang membelah hutan akan selalu berdampak buruk. Jalan itu dinilai akan berpotensi terbukanya jalan-jalan baru lagi yang bisa membuka peluang pembalakan liar dan pembukaan pemukiman baru.
Hal ini bisa saja akan menimbulkan beragam bencana di kemudian hari.
"Sekarang ini tekanan yang sangat besar terjadi pada hutan di Sumatera bagian tengah seperti Jambi dan Riau, selanjutnya bisa saja pindah ke Aceh," kata William yang juga periset Universitas James Cook (JCU) di Cairns Australia.
William mengaku masih melakukan penelitian di Aceh terkait ekosistem hutan yang bisa terancam dengan pembangunan jalan Gadia Galaska. Hasil penelitian nantinya akan dituangkan dalam jurnal, kemudian ringkasan dari jurnal itu akan ikut diberikan kepada Pemerintah Aceh sebagai bahan pertimbangan untuk berhati-hati dalam pembangunan jalan yang membelah hutan.
Dia tidak bisa menampik pembangunan jalan itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dampak kerugian yang ditimbulkan bisa lebih banyak dari keuntungan. "Sekarang pengambil kebijakan sangat jarang memperhatikan dampak kerugian yang ditimbulkan dari suatu pembangunan," ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris ATBC, Tony J Lynam, mengatakan, tujuan konferensi ATBC digelar di Aceh adalah untuk merumuskan suatu acuan pembangunan dengan memperhatikan keselamatan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang bisa direalisasikan oleh pemerintah di sejumlah negara. "Kami akan coba mengeluarkan rekomendasi dari konferensi ini," katanya.
Ketua Sekretariat Aceh Green, Muhammad Yakob Ishadami, mengatakan, selama ini, pemikiran antara pengambil kebijakan dengan ilmuwan dan aktivis lingkungan masih sering bertentangan dalam pembangunan, khususnya pada program pembangunan jalan di area hutan.
Di satu sisi, jalan itu perlu dibangun untuk membuka keterisolisasian warga pedalaman. Pada sisi lain pembangunan ini dinilai merusak lingkungan. "Ini yang belum ketemu sampai saat ini," ujarnya.
Salman Mardira |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar