Home

Selasa, 30 April 2013

Mengenal founding mother komunitas Darah Untuk Aceh

KOMUNITAS Darah Untuk Aceh (DUA) merupakan salah satu komunitas yang mewadahi para pendonor darah sukarela dan tetap yang berdomisili di Aceh. Komunitas ini resmi terbentuk tanggal 24 April 2012. Komunitas ini semula hanya berisi kumpulan relawan pencinta lingkungan yang sangat perhatian pada kegiatan sosial seperti donor darah.

DUA lahir dari gagasan seorang aktivis lingkungan bernama Nurjannah Hussien. Kepada ATJEHPOSTcom hari ini, Minggu 21 April 2012, ia menjelaskan gagasan membangun komunitas tersebut adalah beranjak dari pengalamannya pada saat mendonor darah di Unit Transfusi Darah PMI Banda Aceh.

“Suatu kali, saya punya pengalaman keluarga saya sakit dan butuh tranfusi darah. Saat itu, dengan bantuan dari teman-teman dan jaringan yang ada, darah yang dibutuhkan keluarga bisa saya dapatkan dengan mudah. Namun di lain pihak, ketika di PMI saya mendapat kenyataan, banyak orang yang butuh tidak bisa mendapatkan darah dengan mudah,” ujarnya.

Dari pengalamannya itu, perempuan yang biasa dipanggil Nunu ini kemudian menggagas suatu wadah pendonor darah, agar setiap pasien yang butuh darah di Aceh, bisa memanfaatkan para pendonor darah dengan mudah. Sejak terbentuk setahun lalu, komunitas ini sudah menggaet sekitar 700-an anggota yang berdomisili di Banda Aceh dan sekitarnya. “Untuk seluruh Aceh, kita sudah punya anggota 1000-an lebih,” ujar perempuan kelahiran Lhok Kruet Aceh Jaya 24 April 1970 ini.

Menurutnya, membangun komunitas ini tidak lebih sebagai usaha sosialnya dan mendedikasikan kegiatannya ini untuk almarhumah ibunya. Selebihnya ia berujar, “Kita tahu ketersediaan darah di PMI Aceh sangat minim, sementara permintaan darah dari para pasien banyak. Itu makanya, setelah gagasan ini dilemparkan ke beberapa teman yang lain, komunitas ini kemudian dilegalkan dengan akte Nomor 26, tanggal 18 Mei 2012 di Banda Aceh dengan nama “Darah Untuk Aceh” atau disingkat menjadi DUA,” katanya.

Untuk tahun pertama sejak mendirikan Komunitas Darah Untuk Aceh, Nunu menerangkan program yang dijalankan komunitasnya adalah menyangkut pendampingan pasien Talasemia. Program bertajuk 10 For 1 Talasemia berupa program penunjukkan para anggota menjadi orang tua atau kakak asuh bagi para pasien penyakit tersebut.

“Talasemia itu penyakit bawaan di mana para pengidapnya tidak mampu memproduksi hemoglobin darah secara normal. Pasien ini harus melakukan transfusi darah secara rutin. Makanya, untuk program ini, kita membuat program 10 orang untuk 1 pengidap talasemia. Data yang kita peroleh dari RSU-ZA, terdapat 169 pasien talasemia yang berobat rutin. Itu makanya program ini sedikit banyaknya bisa membantu juga,” katanya.

Sementara untuk tahun kedua, program yang sedang digagas Nunu adalah menyosialisasikan ke berbagai pihak menyangkut penyakit Talasemia. “Karena talasemia adalah penyakit bawaan, kita menyosialisasikan agar dua orang pembawa sifat talasemia untuk tidak dipertemukan dalam satu ikatan pernikahan. Caranya yaitu dengan mengecek darah masing-masing sebelum nikah,” katanya.

Tidak hanya aktif di dunia darah saja, saat ini Nunu juga aktif menyuarakan perlindungan terhadap anak. Apalagi pascakejadian Diana 27 Maret lalu, ia bersama beberapa rekan-rekan yang lain, sedang menggagas untuk menjadikan tanggal 27 Maret tersebut sebagai Hari Perlindungan Anak Aceh. “Ini mesti digagas, agar kita tidak lupa tentang kekerasan anak yang terus saja bisa terjadi,” ujarnya.[] ihn

sumber : Atjehpost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar