oleh : SYAHZEVIANDA
Genap delapan tahun sudah cerita dibalik apa pengharapan Rakyat Aceh tentunya, sesuai dengan keinginan, semangat dan sebuah cita-cita yang telah menjadi kesepakatan bersama, tepat tanggal 15 Agustus 2005 telah terlintas ditelinga penghuni alam semesta bahkan, dunia, Rakyat Indonesia dan terkhusus bagi Rakyat Aceh yang mengelu-elukan itu, kesaksian sebuah penuntasan tangis yang berpuluh-puluh tahun lamanya telah berakhir dimeja perundingan dengan melibatkan banyak tokoh, tidak tanggung-tanggung, semua mata terbelanga menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah bagi Kami Rakyat Aceh pada hari.
Eksekutor-eksekutor handal telah disiapkan dari masing-masing pihak menuju meja perundingan, termasuk para fasilitator-fasilitator unggul dan hebat dibidangnya diterjunkan langsung untuk mengukir sejarah dikala itu, sehingga menghasilkan sebuah keputusan-keputusan yang memang didapat dari kesepakatan kedua belah Pihak untuk mengakhiri masa konflik yang sangat mengharukan bagi Rakyat Aceh.
Dengan perundingan dan bersama juru-juru yang mumpuni, serta tak luput dari perhatian pihak asing juga, Aceh secara de facto & de jure telah usai bermandi air mata yang hampir kering dan berlumur darah. Ditambah lagi dengan kondisi Aceh kala itu sedang direndung duka mendalam, teguran Allah dengan datang musibah bencana Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004, sangat tragis menyita perhatian jutaan pasang mata pada saat itu.
Allah berkehendak lain, dengan segala kerendahan hati masing-masing pihak yang ingin mengakhiri perseturuan, dengan ridha-Nya pula lah proses Penandatangan Nota Kesepahaman (MOU) berjalan dengan lancar di Helsinki. Kita harus mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang berkecimpung langsung dalam proses penandatangan tersebut, tuntas sudah satu problem yang dirasakan bertahun-tahun, guna tidak menambah tangis duka yang baru saja telah meluluhlantakkan beberapa kawasan di Aceh, berkat do'a dan semangat yang kuat itu pula Aceh telah mengakhiri masa-masa suramnya yang selalu dihiasi oleh suara dentuman senjata selama bertahun-tahun.
Setelah tereduksi semua butir-butir kesepakatan antara para pihak, Yang selanjutnya di amanahkanlah (MOU) tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, untuk dapat diimpelementasikan sesuai dengan isi perjanjiannya.
Kita tidak bicara kebelakang, sudah barang tentu sakit itu terkadang masih meninggalkan rasa ngilu walau tak terlihat lagi luka dipermukaan, mustahil juga bekas itu langsung hilang begitu saja, butuh proses untuk itu semua, perlahan mari kita yang mengobati luka lama yang dulu pernah bersarang di Bumi Serambi Mekah ini. Bukan hanya nyawa yang melayang saat itu, perekonomian kala itupun tidak stabil, proses belajar mengajar hampir lumpuh, menyisakan yatim dan janda konflik, psikologis dan mental Rakyat Aceh agaknya memang terpukul pada masa pahit itu.
Jika diibaratkan, Seorang anak dituntut patuh pada orang tuanya, ketika anak sakit itu merupakan tanggungjawab sang orang tua, sama halnya dengan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh secara arif dan bijaksana sesuai butir-butir yang telah disepakati. Aceh saat ini memang seperti anak yang ingin sekali dimanja, karena terlalu letih menghadapi kehidupan, perasan keringat yang bercucuran terus-menerus, yang hanya selalu diberikan iming-iming saja, anggap saja anak tersebut baru usai menangis dan semua keinginannya harus dipenuhi, akibat orang tua yang kurang memahami keinginan sang anak.
Intinya apa? Delapan tahun sudah semangat perdamaian ini berjalan mengitari waktu, tentu serbesit sebuah harapan-harapan yang seharusnya kini menjadi kenyataan dan sudah dinikmati oleh Rakyat Aceh, kita tinggal preview kembali nilai-nilai dari yang telah diamanatkan MOU-Helsinki tersebut. Sekarang yang harus kita ketahui bersama adalah sebenarnya Keberpihakan MUO itu sendiri berkedudukan pada siapa? Apa hanya untuk kalangan tertentu? Bukan pada Rakyat Aceh umumnya, atau dirancang sedemikian rupa hanya untuk menaungi kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan elite di Aceh?
Melihat dari materi-materi yang terkandung didalamnya, Konon katanya itu semua adalah bertujuan tak lain dan tak bukan adalah semata-mata untuk kesejahteraan dan kemakmuran Rakyat Aceh. Namun halnya itu semua terlaksana & terealisasi dengan adanya dukungan semua pihak-pihak, lembaga, tokoh, ulama dan sebagainya yang ada di Aceh. Bukan lagi menunjukkan otot tuan-tuan sekalian yang dahulu mengakui perjuangannya didepan khalayak ramai. Jika memang anda merasa pejuang yang punya watak mulia, berjuanglah saat ini untuk kepentingan Rakyat Aceh, ambil semua Program Pro-Rakyat yang ada di Pusat, bawa pulang kesini, tunjukkan pada kami, buat kami percaya dan yakin. Jangan malah membuat keruh suasana karena anda belum kebagian jatah, jangan sampai masyarakat berpikir miris tentang apa-apa yang telah anda lakukan dimasa ketika berjuang dulu, kenapa dahulu anda mampu bersama-sama mengorbankan nyawa bahkan, kini gara-gara hanya sebuah kedudukan, politik, proyek dan sebagainya, menimbulkan perspektif negatif yang berujung pada permusuhan antara kawan? Apa itu kesimpulan sebuah perjuangan? bukan cara itu ''Hai Adun'', kuburlah itu dalam-dalam.
Jangan lagi kita membuat kebodohan-kebodohan yang sengaja dipolitisir oleh oknum yang ingin memecahbelahkan ''Geutanyoe'', perjalanan kita masih panjang untuk kedepannya, bersama kita makmurkan rakyat Aceh dengan tangan kita sendiri, jangan lagi didikte oleh pihak-pihak yang hanya ingin mencari keuntungan semata di bumi Seramoe Mekah ini, tak mendapat intervensi asing bukan berarti tak hebat, SDM Aceh saat ini sangat memadai untuk membasmi kemiskinan dan pengangguran di Aceh, itu semua tak lepas dari Perhatian Pemerintah Pusat yang sudah seharus dan sepantasnya menyajikan berbagai Regulasi terkait amanah dari MOU-Helsinki 15 Agustus 2005, sedianya Pemerintah mempercepat proses-proses turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 seperti PP dan Perpres yang berujung pada kepentingan Rakyat Aceh kelak.
Saatnya membangkitkan martabat dan marwah Aceh pada Masa kejayaan dahulu. Betapa tidak, jangan martabat Aceh direnggut oleh para penghuninya sendiri akibat keserakahan-keserakahan semata,
Pesan moril yang dapat kita ambil dari peringatan delapan tahun usia Perdamaian yang telah kita impikan bersama, Semoga Allah selalu melimpahkan Rahmat dan keberkahan-Nya, ciptakan kondusifitas di Aceh agar tetap terjaga dengan mengenyampingkan ego masing-masing demi kepentingan Aceh kedepan, Apalagi menjelang Pemilu 2014, agar iklim politik di Aceh tetap stabil, angka 8 (delapan) tahun dinilai belumlah cukup untuk menikmati rasa aman saat ini dirasakan, dibanding dengan berpuluh tahun harus hidup sengsara direndung rasa yang tidak nyaman. Semoga ini adalah merupakan tanda dimulainya kembali kebangkitan Aceh disemua sektor. Amiien......
Penulis Adalah Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Samudra Langsa
Posting Komentar