Rumoh Geudong |
Menurut Ketua tim, Otto Nur Abdullah, dalam penyelidikan itu, sebagian besar kerja-kerja yang dilakukan hanya menindaklanjuti investigasi yang pernah dilakukan komisioner sebelumnya.
Sekaligus sebagai komitmen Otto ketika dipilih menjadi Ketua Komnas HAM tahun lalu untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM berat.
Penyelidikan yang dilakukan pada Mei-Juni 2013 itu fokus pada lima kasus yaitu peristiwa Rumoh Geudong di Pidie, pembunuhan massal di Simpang KKA Aceh Utara dan Bumi Flora Aceh Timur. Serta penghilangan orang secara paksa dan kuburan massal di Bener Meriah dan pembantaian massal Jambo Keupok.
Dari lima kasus itu, tiga diantaranya sudah pernah diselidiki Komnas HAM yaitu Rumoh Geudong, Simpang KKA dan Bumi Flora. Sayangnya, tidak satupun dari berbagai kasus itu yang diadili di pengadilan HAM.
Dari berbagai kasus itu, tim menemukan fakta bentuk perbuatan dan pola pelanggaran HAM yang terjadi selama penerapan operasi militer. Yaitu pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan dan perkosaan.
Khusus untuk pelanggaran HAM berupa pembunuhan, terjadi di semua kasus yang diselediki yaitu Jambo Keupok sebanyak 16 korban, Simpang KKA 22 korban, Rumoh Geudong 378 korban, Timang Gajah dan Bener Meriah 25 orang, serta Bumi Flora 31 orang.
Untuk korban perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, tim menemukan 172 warga sipil menjadi korban. Sedangkan yang mengalami penyiksaan ada 229 korban, penganiayaan 599 korban dan 14 perempuan mengalami perkosaan.
Pada kesempatan yang sama, salah satu anggota tim, Asri Oktavianty, menjelaskan kasus Rumoh Geudong di Pidie terjadi di sela waktu usai pemberlakuan DOM dan penerapan darurat militer. Pemerintah menerbitkan kebijakan itu karena menganggap kondisi Aceh tidak aman karena dianggap ada gerakan “separatis.”
Dalam menjalankan operasi militer itu, dibentuk pos-pos di lokasi strategis guna memantau dan mengisolasi gerakan yang disebut “separatis” itu. Akhirnya, pos Sattis dibentuk di setiap rumah adat Aceh (Rumoh Geudong) yang tersebar di setiap kecamatan.
Dalam penyelidikan yang dilakukan, Komnas HAM menemukan seorang korban perempuan dalam kasus Rumoh Geudong di Pidie. Menurut Asri, korban ditangkap karena kakaknya dianggap sebagai anggota gerakan pengacau keamanan (GPK). Ironisnya, sang korban ditangkap dan diperkosa berulang kali bahkan payudaranya dipotong.
Menurutnya, kasus Rumoh Geudong baru terbongkar ketika Komnas HAM melakukan investigasi tak lama usai DOM dicabut tahun 1998. Bahkan, selang beberapa menit usai Komnas HAM menyambangi lokasi, Rumoh Gedong terbakar.
Sementara peristiwa penghilangan orang secara paksa dan kuburan massal di kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah diketahui dari laporan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil kepada Komnas HAM.
“Ketika masih ada militer di wilayah itu, masyarakat kerap mendapat tekanan, penyiksaan dan penangkapan. Jadi, orang yang dianggap Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didatangi rumahnya,” kata Asri dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis (1/8).
Anggota tim lainnya, Sriyana, mengatakan selama ini kondisi para korban kurang tersentuh oleh pemerintah. Padahal, kondisi para korban, terutama yang selamat, butuh mendapat pemulihan atas peristiwa kelam yang pernah dialaminya.
Menurutnya, pemulihan itu juga patut dilakukan terhadap para keluarga korban. Mengacu peraturan yang ada, baik nasional dan internasional, Sriyana mengatakan pemulihan dan reparasi kepada para korban merupakan kewajiban negara.
Sebagai salah satu upaya mewujudkan hal itu, Sriyana menyebut penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM terhadap dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh merupakan tahap awal.
Mengingat sudah ada hasil penyelidikan yang dilakukan tim, Sriyana mengatakan tahap selanjutnya tinggal menunggu keputusan pimpinan Komnas HAM apakah hasil penyelidikan ini akan ditingkatkan dan diarahkan pada ketentuan UU Pengadilan HAM. Sehingga, ada upaya untuk menghadirkan keadilan bagi para korban. “Jadi komisioner harus memutuskannya dalam rapat paripurna,” ucapnya.
Masalah Internal
Sayangnya, dalam rapat paripurna yang digelar sampai hari ini, Otto mengatakan pimpinan Komnas HAM masih mempertanyakan hasil penyelidikan yang dilakukan tim. Sikap keberatan dari pimpinan Komnas HAM itu menyebabkan jumpa pers terlambat sekitar satu jam dari waktu yang ditentukan.
Dalam keputusan rapat paripurna itu, diputuskan bahwa hasil penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh disamakan seperti pemantauan kasus-kasus reguler. Bahkan, Otto mengatakan pimpinan Komnas HAM tidak mau menandatangani kelengkapan berkas tim untuk melakukan investigasi.
Atas dasar itu, Otto melanjutkan, komisioner belum menyepakati apakah hasil investigasi dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh, apakah akan ditingkatkan untuk diselaraskan dengan UU Pengadilan HAM atau tidak. Padahal, dalam rapat paripurna itu Otto mengusulkan agar keputusan diambil lewat voting.
Namun, tiga anggota Komnas HAM, salah satunya ketua Komnas HAM, menyatakan tidak setuju. “jadi ada dua hambatan (internal,-red) dalam penyelidikan ini yaitu berkaitan dengan anggaran dan pembahasan (substansi,-red),” urainya.
Namun, Otto menegaskan, tim yang ia pimpin pada intinya mendesak agar sidang paripurna Komnas HAM menerima laporan tersebut. Serta menindaklanjuti hasil kesimpulan tim dengan membentuk tim penyelidikan pro yustisia untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Sehingga, nantinya dapat diteruskan dan diproses oleh Jaksa Agung sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran HAM berat. Namun, jika rekomendasi itu tidak dijalankan, maka penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh akan mandeg di Komnas HAM. “Kelanjutan penanganan kasus ini tergantung dari political will pimpinan Komnas HAM,” tegasnya.
Otto mencatat, jika kasus ini tidak dituntaskan, maka menambah deret panjang kemandegan penyelesaian pelanggaran HAM berat di era pemerintahan SBY. Ia khawatir jika mata rantai kekerasan itu tidak diputus, maka kasus serupa akan terjadi di masa depan. Pasalnya, tidak ada penghukuman bagi pelanggar HAM. Bagi Otto, kondisi itu membuat posisi Komnas HAM terjepit.
Sebab, di satu sisi korban dan keluarganya menuntut agar kasus pelanggaran HAM segera dituntaskan, tapi di sisi lain pemerintah tidak berpihak pada penegakan hukum dan HAM. “Selama dua periode kepemimpinan Presiden SBY, tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang dituntaskan,” tukas Otto.
Sumber: TGJ
[jemp]
Posting Komentar