Siapa bilang petani kakao tidak bisa membuat coklat. Terbukti seorang petani kakao di Kabupaten Pidie Jaya, Propinsi NAD, memiliki gerai yang menjual produk-produk coklat olahan buatannya sendiri. Tepatnya di Jalan Banda Aceh Medan km 138, di Kecamatan Bandar Baru.
Irwan Ibrahim, pemilik toko Socolatte yang juga menjual produk coklat dengan merek yang sama, memulai usahanya sejak tahun Maret 2010. Kala itu ia dibimbing seorang pakar coklat dari Jepang.”Banyak orang menganggap ide saya membangun pengolahan coklat, tidak rasional”, kenangnya.
Faktanya, usahnya tersebut masih bertahan hingga ini, dan gerainya tidak pernah sepi pengunjung. “Mereka yang singgah di sini, bahkan, tidak semuanya berasal dari Aceh, juga dari luar Aceh yang kebetulan melwati jalan lintas Sumatera tersebut”.
Di gerainya tersebut, selain membeli produk coklat, juga dapatmenikmati langsung layaknya sebuah café. Sehingga sering dijadikan tempat persinggahan.
Produk-yang ia jual antara lain powder, coklat batangan, agar-agar, kue bronis maupun minuman. Kelebihan coklat buatannya, selain rasanya tidak kalah dengan produk buatan luar, juga bermanfaat bagi kesehatan. Karena kandungan coklatnya 60 persen, dan menggunakan minyak coklat dan bukan berasal dari sawit, yang merupakan salah satu kriteria coklat berkualitas tinggi.
Menariknya, bahan bakunya diolah dari biji kakao asal kebunnya sendiri, maupun hasil para petani di wilayah Pidie Jaya. Dan bukan dari bubuk coklat, seperti café coklat yang ada di kota-kota besar.
“Biji kakao saya olah menjadi bubuk coklat dan minyak nabati di unit pengolahan saya, sebelum saya pakai membuat produk olahan”, jelasnya. Lalu ia menunjuk ke arah gedung dengan luas 70 m2, tepat dibelakang gerainya, yang merupakan tempat pengolahan biji kakao. Dari 1 kg biji kakao, kata anggota Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) tersebut, bisa menghasilkan 4,5 ons tepung coklat dan 3,5 ons minyak coklat.
“Hasilnya cukup lumayan”, akunya. “Setiap bulan saya bisa membukukan omzet minimal Rp. 70 juta”. Keberhasilannya mengolah dan menjual produk coklat konsumsi, setidaknya juga, mematahkan asumsi jika panganan tersebut harus diproduksi dalam skala industri.
Melalui usaha coklat ini, Irwan juga berharap dapat merangsang petani di Pidie Jaya melakukan fermentasi, Untuk membuatnya coklatnya ia hanya membeli biji kakao fermentas. “Saya berani membeli dengan selisih harga Rp. 3.000,- lebih tinggi dari harga biji asalan, supaya petani di sini berminat memfermentas biji kakaonya”, ungkapnya. Setiap bulan ia mengaku mampu menampung biji kakao fermentasi petani hingga 600 kg.
Untuk mempromosikan gerainya, Irwan, sering ikut serta dalam kegiatan pameran produk yang dilaksanakan di Banda Aceh. Maupun mengsponsor acara-cara yang diselenggarakan oleh Universitas Syiah Kuala.
Ketika ditanyakan apakah petani kakao di tempat lain bisa mengikuti jejaknya? Ia menjawab ya, namun secara bertahap. Untuk tahap awal sebaiknya memproduksi powder. Lalu kemudian, dengan melihat preferensi pasar, mengembangkan menjadi pengolahan produk akhir . “Tapi petani harus ada keseriusan, karena tahun pertama mulai operasional bisa dipastikan keuntungan menarik belum bisa dirasakan”, jelasnya.
Keberanian Irwan memproduksi produk olahan coklat layak menjadi inspirasi bagi petani. Karena, ketika pabrik tidak memberikan harga yang menarik untuk biji kakao fermentasi, mengapa lalu petani tidak mengolahnya sendiri?
Sumber: ekonomi.kompasiana.com
Posting Komentar