Ubedilah Badrun. (Dok. Seruu.com) |
Kepastian status tersangka ketua MK itu disampaikan setelah penyidik KPK menggelar pemeriksaan terhadap 13 orang selama lebih dari dua belas jam sejak penggerebekan Rabu lalu. Ketua MK, Akil Mochtar, merupakan pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia yang ditangkap KPK.
Dia diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten.
Dari kronologi yang disampaikan oleh pimpinan KPK, penyerahan uang dilakukan langsung di rumah tersangka dalam mata uang US$ dan SING$ senilai Rp 2 milyar, sementara Rp 1 milyar lainnya disita dari tempat lain.
Peristiwa ini sontak membuat nurani kita bergejolak marah bercampur miris karena yang tertangkap tangan adalah pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia.
Sebuah institusi yang sejak berdirinya sangat disegani dan berhasil membangun wibawa hukum di Indonesia. Kini itu semua telah runtuh.
Jika kita mencermati kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari tingkat daerah sampai pejabat tinggi negara ini menurut data Puspol dalam 15 tahun terakhir ini telah menggenapkan jumlah kasusnya menjadi 150 kasus. Ini artinya makin menguatkan tesis bahwa negeri ini adalah benar benar negeri kleptokrasi. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat, atau antara aparat negara dengan pihak pihak lain.
Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu. Korupsi di MK menjadi bukti makin mengerikan negeri kleptokrasi ini.
Mengapa?
Selain karena yang tertangkap tangan adalah pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia, juga karena peristriwa ini membuat publik meragukan kebenaran semua putusan sengketa pemilu yang dibuat MK.
Dapat dibayangkan jika semua putusan sengketa pemilu itu terbongkar maka betapa banyak kepala daerah mendapatkan kekuasaan dengan transaksi di MK. Dan itu artinya legitimasi kepala daerah tersebut adalah lemah dan bisa batal demi hukum.
Yang makin mengerikan jika kemudian memberi pengaruh bagi munculnya gerakan sosial karena protes keras terhadap banyaknya kasus kleptokrasi ini dan salah satu sarang terbanyaknya justru ada di MK, sebuah lembaga hukum negara.
Kleptokrasi ini juga menunjukkan sedemikian parahnya perilaku korup para pejabat. Korupsi pejabat ini begitu sistemik dan meluas. Indonesia sesungguhnya sedang kronis korupsi.
Lalu, bagaimana solusinya?
Sebagai penyakit kronis maka solusi terbaiknya adalah amputasi atau jika ia tidak bisa diamputasi maka tubuh akan mati sendiri. Rakyat banyak yang dikorbankan. Negeri ini bisa mati oleh korupsi yang meluas dan sistemik itu. Solusi amputasi untuk membuat korupsi berhenti adalah hukuman mati untuk para koruptor.
Kleptokrasi ini akan berhenti jika hukuman mati untuk koruptor dipraktekkan. Karenanya hukuman mati harus berlaku untuk para koruptor, sebagaimana juga berlaku untuk teroris, pemilik dan pengedar narkoba, pelaku mutilasi dan atau pembunuhan berencana.
oleh Ubedilah Badrun, Pengamat Sosial Politik UNJ dan Direktur Puspol Indonesia.
Sumber: seruu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar