Home

Senin, 21 Oktober 2013

New York Times kritik Pemerintah Aceh

RTRW Hutan Aceh
Media ternama Amerika Serikat, New York Times, mengkritik kebijakan Pemerintah Aceh terkait isu lingkungan hidup.

Laporan yang dipublikasi pada 11 Oktober lalu berjudul,"in Indonesia, environmentalists see a disaster in the making."

Laporan itu memaparkan kekhawatiran sejumlah pegiat lingkungan terhadap kelestarian hutan di Aceh. Kekhawatiran muncul setelah Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Gubernur Zaini Abdullah mengajukan proposal alih fungsi sebagian hutan lindung menjadi hutan produksi.

Pihak pemerhati lingkungan hidup mengatakan rencana itu akan membuka kesempatan terjadinya penebangan liar, pembukaan lahan sawit dan konsesi tambang. Mereka khawatir pembukaan lahan yang kian bertambah pesat di kawasan hutan lindung membuka jalan terhadap munculnya bencana lingkungan, ancaman punahnya orang utan, harimau dan gajah terpaksa mengungsi, dan memicunya terjadinya banjir bandang dan tanah longsor.

Sementara Pemerintah Aceh mengatakan perubahan alih fungsi hutan perlu dilakukan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat.


Hutan Aceh yg masih alami/dok: seputaraceh.com
Salah satu lembaga yang tegas menolak rencana itu adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh. "Mereka sangat antusias untuk membuka jalan baru dan membabat hutan," kata Zulfikar, Direktur Walhi Aceh. "Seharusnya pemerintah tidak hanya melihat dari sudut pandang politik dan investasi saja. Apa gunanya investasi jika mendatangkan bencana alam di masa yang akan datang?"

Menurut New York Times, usulan Zaini Abdullah adalah hal yang mengejutkan mengingat Pemerintah Aceh didominasi mantan GAM yang pernah menyebut mereka sebagai pelindung lingkungan alam di wilayah itu melawan ekploitasi dari luar. Ini juga mengilustrasikan pemerintah Indonesia menghadapi masalah lain setelah pemberlakukan otonomi khusus untuk Aceh setelah perjanjian damai tahun 2005 lalu. 

"Undang-Undang otonomi daerah telah memberikan kewenangan bagi walikota atau bupati untuk mengelola daerah mereka, untuk memberikan konsesi serta memberikan izin terkait dengan kegiatan ekonomi" kata Mas Achmad Santosa selaku penasehat hukum kelompok kerja Presiden yang bertugas sebagai pemantau hutan Indonesia.

New York Times juga menyebutkan, penelitian Greenomics (sebuah lembaga pemantau kebijakan lingkungan di Jakarta) menemukan adanya pemberian izin tambang dan perkebunan sawit oleh pemerintah daerah dan persetujuan pemerintah pusat. Akibatnya, menurut Greenomics, berdampak pada 1,3 juta hektare hutan lindung di Aceh.

Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics menyebutkan bahwa usulan pemerintah Aceh itu sebagai "sebuah upaya melegalkan kegiatan tanpa izin." Saat ini ada 1,84 juta hektare hutan lindung di Aceh. Ini bagian dari 32 juta hektar hutan lindung di seluruh Indonesia.

Menurut New York Times, saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tercepat di dunia. Sebagian besar banyak digunakan untuk membuat areal jalan bagi perkebunan kelapa sawit. Menurut laporan resmi dari PBB, dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010, 20 persen dari luas hutang telah musnah.

Pada tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan membekukan konsesi penebangan baru sabagai bagian dari perjanjian kesepakatan dengan negara Norwegia yang telah menyetujui untuk membayar pemerintah Indonesia hingga 1 Milyar Dollar untuk mengurangi masalah deforestasi. Pada Mei lalu, SBY telah memperpanjang larangan tersebut hingga tahun 2015 nanti.

Namun muncul kritikan bahwa moratorium ini hanya berlaku untuk konsesi baru, sementara struktur pengelolaan hutan yang kompleks menjadikan hutan lindung sebagai lahan eksploitasi. Misalnya, pemerintah daerah dapat meminta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengkaji ulang kawasan hutan lindung yang berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi.


Hutan rusak/dok: seputaraceh.com
Aceh merupakan salah satu kasus yang kian mencuat karena sejarah pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang akhirnya berujung pada pemberian otonomi khusus untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi Jakarta dalam hal pengelolaan sumberdaya alam.

"Dibutuhkan tindakan hati-hati dari pemerintah pusat untuk mengakomodasi aspirasi rakyat Aceh, namun juga tetap menegakkan hukum nasional," kata John McCarthy, dosen senior bidang lingkungan pada Australian National University.

Selama beberapa dekade, konflik bersenjata membuat Aceh terhindar dari deforestasi yang terjadi di tempat lain di Indonesia. Musibah tsunami pada 2004 telah membuka jalan bagi lahirnya perjanjian damai dan mengakhiri peperangan. Ini menempatkan mantan kombatan GAM ikut bertanggung jawab atas wilayah terkenan bencana tsunami.

Irwandi Yusuf, mantan GAM yang terpilih sebagai gubernur periode 2007-2012 dikenal sering membuat kejutan dengan mendatangi lokasi penebangan liar. Irwandi dikenal dengan sebutan "gubernur hijau" yang berjanji melestarikan hutan hujan Aceh.

Ia juga merangkul Persatuan Bangsa-Bangsa untuk mendukung perdagangan karbon yang bertujuan mengurangi kerusakan hutan. Pada 2007, ia melarang perusahaan perkebunan beroperasi di hutan primer atau lahan gambut. Tiga tahun kemudian, ia mengusulkan rencana penggunaan lahan yang akan meningkatkan jumlah hutan lindung sebanyak 1 juta hektar.

Namun, pada 2011, tulis New York Times, Irwandi berbalik arah. Ia mengizinkan perusahaan kelapa sawit PT Kalista Alam beroperasi di kawasan konservasi Rawa Tripa, yang menyebabkan rumah bagi orangutan sumatera terancam punah.

Langkahnya bikin heboh kalangan konservasi lingkungan yang menyatakan konsensi itu melanggar hukum nasional. Irwandi membela keputusannya dengan mengatakan uang yang diharapkan dari proyek perdagangan karbon tidak terwujud karena keterlambatan birokrasi di level nasional. Satu kelompok lingkungan telah membawa kasus ini ke pengadilan. Namun ini menandai awal dari sebuah transisi kepemimpinan yang berfokus pada perlindungan hidup, menjadi mengarah pada kepentingan ekonomi.

"Banyak orang Aceh tidak bisa menerima bahwa tanah air mereka dikurung oleh konservasionis," kata McCharthy. Banyak yang berharap uang tunai dengan menjadi makelar untuk akses ke sumberdaya alam Aceh. Dia mengatakan Irwandi telah mendukung konservasi sebagai sarana pembangunan. namun ketika skema karbon gagal dibayar, ia meninggalkannya.

Menurut New York Times, Zaini Abdullah sebagai pengganti Irwandi, terbukti lebih tidak ramah lingkungan. Tak lama setelah menjabat pada Juni 2012, Zaini membubarkan BPKEL, sebuah lembaga daerah yang bertugas memastikan Ekosistem Leuser tetap terjaga sebagai salah satu tempat terakhir gajah sumatera, badak, harimau dan orangutan hidup bersama.

"Orang-orang mengambil apa yang mereka bisa selagi ada kesempatan," kata Ian Singleton, kepala konservasi pada organisasi lingkungan PanEco dan Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera. Pusat rehabilitasi tempat Ian bekerja tadinya hanya untuk menampung 25 orangutan, namun kini jumlahnya dua kali lipat karena hutan dibabat, kata Singleton.

Usulan Zaini kepada pemerintah pusat akan menggantikan rencana penggunaan lahan yang berlaku sejak tahun 2000. Pejabat yang membantu merancang proposal mengatakan perubahan klasifikasi hutan diperlukan untuk mengakomasi perluasan pemukiman dan pembangunan infrastruktur.

"Jumlah penduduk kian bertambah sejak rencana tata ruang sebelumnya disusun," kata Martunis Muhammad, dari Bappeda Aceh. "Perubahan perlu untuk memperhitungkan perubahan pola penggunaan lahan."

Berdasarkan rencana yang diusulkan, kata Martunis, beberapa hutan lindung akan dijadikan sebagai hutan produksi, yang memungkinkan masyarakat mengolah tanah untuk ditempati. Dia mengakui bahwa rencana itu akan mengurangi kawasan hutan lindung tetapi tidak akan melanggar hukum nasional yang melarang aktivitas manusia di kawasan Ekosistem Leuser. "Rencana tata ruang ini ditujukan untuk pembangunan Aceh, sekaligus melindungi lindungan," kata Martunis.

Namun demikian, jika usulan itu tidak disetujui perintah pusat, kata Singleton, tanpa tindakan tegas dari pemerintah pusat, perkebunan akan terus mengganggu kawasan lindung. "Sekarang semua terbuka untuk bisnis," kata Singleton seperti dikutip New York Times.[] (yas)


Sumber: AtjehPost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar