Home

Kamis, 10 Oktober 2013

Pusat Pemerintahan Aceh harus pindah

Tungang Iskandar
TIDAK usah mengurai alasan panjang, pembakaran istana Aceh oleh pasukan Aceh sendiri tentulah berdasarkan perintah orang-orang penting dan berpengaruh pada masa itu. Tentu sebuah isyarat, bahwa pusat pemerintahan itu dibakar bukan semata agar tidak bisa ditempati oleh musuh, namun supaya tidak juga ditempati kembali oleh orang-orang Aceh, apalagi untuk mendirikan kembali pusat pemerintahannya.

Masa itu, sebelum Belanda belajar bikin ribut, kerajaan Aceh telah pun menjadi salah satu penjajah yang disegani di dunia. Bukan cuma karena orang-Aceh itu hebat-hebat, namun karena letak geografisnya yang strategis untuk menjajah.

Maka dari itu, sebagai salah satu tempat untuk bertengger nyaman menjajah, kerajaan Aceh sangat kuat alasannya untuk dilenyapkan sebelum jatuh ke tangan yang jahil. Maka dibakarlah. Namun celakanya Belanda telah pun paham. Maka tersudutlah kita menjadi subjek terjajah setelah tanah ajaib itu dikuasai.

Pasca perang dengan Belanda, dileburkannya Aceh dalam sumatra utara oleh Indonesia juga bisa dipahami sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian terhadap tanah yang menjadi Kuta para raja penjajah tersebut. Agar Aceh tidak kembali menjadi kekuatan yang mengancam wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Celakanya bagi Indonesia bahwa ingatan Aceh belumlah hilang, pertempuran sebagai wujud penolakan pun kembali terjadi, sampai dikembalikannya lagi pusat pemerintahan ke Kutaraja. Tentunya dengan strategi yang juga tidak kalah penting bagi Indonesia, yaitu membatasi akses secara geografis untuk Aceh, agar tidak bisa menjajah kembali. baik lewat laut dan darat.

Tentulah kita melihatnya sampai sekarang, dimana berbagai pelabuhan tidak dapat difungsikan dengan baik untuk kepentingan yang lebih besar bagi Aceh, Sedangkan darat tidak pun begitu dikhawatirkan, karena masih tetap bergantung dengan Sumatra Utara.

Usaha untuk melepas jeratannya bukanlah tidak ada sama sekali, setidaknya telah kita lihat dari berbagai perlawanan fisik sampai metafisik. Namun apalah daya, sepertinya harga diri bukanlah lagi harga mati, akan tetapi satu komoditi yang telah pun diperjualbelikan oleh orang-orang kita sendiri.

Kini, setelah hampir semuanya dikebiri, tinggallah adat seperti halnya cawat lusuh untuk menutupi perih dan luka, sambil sesekali dipertunjukkan di hadapan umum, agar semuanya terlihat tenang dan baik-baik saja.

Sedangkan satu-satunya cara untuk bangkit adalah mengakui kekalahan dan berusaha memperbaiki segala kesalahan, seperti halnya Jepang setelah terkena bom Hiroshima. lalu kembali bekerja untuk mencuci yang kotor-kotor, bau anyir dan bau basi.

Ada dua pertanyaan yang bisa kita ajukan dalam hal ini, yang pertama adalah apa salah kita?, dan yang kedua adalah siapa yang melakukan ini pada kita?. Pertanyaan kedua akan mengantarkan kita pada teori-teori konspirasi dan paranoia, sedangkan pertanyaan pertama akan mengantarkan kita untuk bagaimana melakukannya dengan benar, agar segera kita lebih baik.

Semua pertanyaan tentunya mempunyai kekuatan penting yang bisa mengundang kembalinya semangat dan jati diri kita sebagai orang yang paleng jroeh ateuh rueng donya, yang tidak sekedar bisa menjajah lewat fisik, namun lebih kejam dari itu, yaitu mampu membangun koloni yang peduli terhadap nilai-nilai luhur untuk kepentingan bersama yang lebih baik.

Maka pusat pemerintahan Aceh harus dipindahkan ke Lhokseumawe, supaya mental-mental para penjilat dan penindas pada bekas pemerintahan penjajah itu tidak menjadi bencana yang dapat memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang telah terjalin akrab dalam panji Islam di Aceh. []

Tulisan ini sudah dipublikasikan di www.ATJEHTODAY.com

Penulis adalah mahasiswa pada Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pecinta kopi dan coklat hangat.


Sumber: AtjehPost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar