Objek tsunami, selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata juga menjadi tempat untuk merenung akan kebesaran Illahi. Salah satu tempat yang memenuhi dua kriteria di atas adalah objek wisata Kapal di atas Rumah di gampong Lampulo, kecamatan Kuta Alam Banda Aceh.
Matahari masih tinggi ketika saya sampai di sini, panasnya terasa menyengat kulit dan saya terpaksa memicingkan mata. Namun, saat melihat kapal besar yang bertengger di atas rumah saya pun takjub.
Sejenak ingatan saya kembali pada masa beberapa tahun silam, sebuah peristiwa besar bernama tsunami yang terjadi di akhir desember 2004. Yang merenggut ratusan ribu korban jiwa dan memporak-porandakan berbagai infrastruktur di Aceh.
Peristiwa besar itu pula yang membawa kapal seberat 20 ton ini tersangkut di atas rumah penduduk di kawasan gampong Lampulo, tepatnya di atas rumah keluarga Misbah dan Abassiah. Sekarang mereka tinggal di Geuceu Komplek.
Kapal dengan panjang 25 meter ini terbuat dari kayu. Bagian bawah kapal dicat warna hitam, sedangkan badan kapal tampak telah dicat kembali dengan cat minyak berwarna perak. Beberapa bagian di dinding kapal terlihat mulai lapuk dimakan usia. Lebarnya mencapai 5,5 meter. Bagi para pengunjung keberadaan kapal ini tentu saja akan mengingatkan pada kekuasaan Sang Pencipta.
Untuk memudahkan pengunjung melihat bagian atas kapal, dibangun tangga datar setinggi lima meter. Seluruh bangunan ini berwarna abu-abu. Dari atas sini kita dapat dengan leluasa melihat bagian dalam kapal. Dan juga rumah-rumah penduduk di sekitarnya.
Di bawah kita akan menemukan sebuah plakat dalam tiga bahasa; Aceh, Indonesia dan Inggris. Plakat ini dirancang oleh tim Bustanussalatin dan bantuan recovery Aceh – Nias Trust Fund BRR. Di atas plakat ada tulisan “Kapal ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu”.
Untuk mencapai objek wisata ini tidaklah sulit, letaknya berdekatan dengan kantor Puskesmas Lampulo, persis di belakang sekolah dasar (SD) 65 Coca Cola Banda Aceh. Akses ke sana juga mudah, bisa menggunakan sepeda motor atau naik becak dengan tarif tiga ribu rupiah per kilometernya.
Dengan adanya objek wisata tsunami ini, sejak 25 desember 2011 lalu gampong Lampulo ditetapkan sebagai salah satu gampong sadar wisata di Banda Aceh. Dua desa lainnya adalah Punge Blang Cut dan Ulee Lheu.
Wahyu, yang sehari-hari bertugas sebagai pemandu wisata di kawasan ini kepada The Atjeh Post, Senin 27 Februari 2012 mengatakan bahwa keberadaan Gampong Wisata ini telah memberikan dampak positif bagi ekonomi masyarakat sekitar.
Melalui program PNPM Pariwisata setidaknya masyarakat mendapatkan suntikan dana dari PNPM untuk mengelola unit usaha berupa kedai untuk menjual berbagai souvenir dan makanan khas Aceh . Di sini pengunjung bisa membeli oleh-oleh berupa cinderamata atau pun makanan khas Aceh, dan kaos oblong. “Selain itu kita juga menyediakan buku testimoni para korban yang selamat dan brosur-brosur untuk para pengunjung,” jelas Wahyu yang fasih berbahasa Inggris.
Berdasarkan catatan yang dipunyai Wahyu, terhitung sejak Desember hingga Februari sudah ada ribuan pengunjung yang datang ke tempat ini. Mayoritas mereka berasal dari Malaysia, selebihnya dari Amerika dan Eropa. “Untuk menyambut kedatangan tamu-tamu khusus kita juga kerap menampilkan pertunjukan seperti tarian,” katanya.
Kabid Sejarah dan Kebudayaan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh, Wahyudi, kepada the Atjeh Post beberapa waktu lalu mengatakan, bahwa keberadaan masyarakat sadar wisata ini adalah untuk membuat agar masyarakat lebih proaktif terhadap pengembangan objek wisata di daerahnya. “Sehingga masyarakat secara tidak langsung bisa menjadi tour guide bagi para wisatawan,” ungkapnya.
Sumber | atjehpost.com | Ihan Nurdin
Matahari masih tinggi ketika saya sampai di sini, panasnya terasa menyengat kulit dan saya terpaksa memicingkan mata. Namun, saat melihat kapal besar yang bertengger di atas rumah saya pun takjub.
Sejenak ingatan saya kembali pada masa beberapa tahun silam, sebuah peristiwa besar bernama tsunami yang terjadi di akhir desember 2004. Yang merenggut ratusan ribu korban jiwa dan memporak-porandakan berbagai infrastruktur di Aceh.
Peristiwa besar itu pula yang membawa kapal seberat 20 ton ini tersangkut di atas rumah penduduk di kawasan gampong Lampulo, tepatnya di atas rumah keluarga Misbah dan Abassiah. Sekarang mereka tinggal di Geuceu Komplek.
Kapal dengan panjang 25 meter ini terbuat dari kayu. Bagian bawah kapal dicat warna hitam, sedangkan badan kapal tampak telah dicat kembali dengan cat minyak berwarna perak. Beberapa bagian di dinding kapal terlihat mulai lapuk dimakan usia. Lebarnya mencapai 5,5 meter. Bagi para pengunjung keberadaan kapal ini tentu saja akan mengingatkan pada kekuasaan Sang Pencipta.
Untuk memudahkan pengunjung melihat bagian atas kapal, dibangun tangga datar setinggi lima meter. Seluruh bangunan ini berwarna abu-abu. Dari atas sini kita dapat dengan leluasa melihat bagian dalam kapal. Dan juga rumah-rumah penduduk di sekitarnya.
Di bawah kita akan menemukan sebuah plakat dalam tiga bahasa; Aceh, Indonesia dan Inggris. Plakat ini dirancang oleh tim Bustanussalatin dan bantuan recovery Aceh – Nias Trust Fund BRR. Di atas plakat ada tulisan “Kapal ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu”.
Untuk mencapai objek wisata ini tidaklah sulit, letaknya berdekatan dengan kantor Puskesmas Lampulo, persis di belakang sekolah dasar (SD) 65 Coca Cola Banda Aceh. Akses ke sana juga mudah, bisa menggunakan sepeda motor atau naik becak dengan tarif tiga ribu rupiah per kilometernya.
Dengan adanya objek wisata tsunami ini, sejak 25 desember 2011 lalu gampong Lampulo ditetapkan sebagai salah satu gampong sadar wisata di Banda Aceh. Dua desa lainnya adalah Punge Blang Cut dan Ulee Lheu.
Wahyu, yang sehari-hari bertugas sebagai pemandu wisata di kawasan ini kepada The Atjeh Post, Senin 27 Februari 2012 mengatakan bahwa keberadaan Gampong Wisata ini telah memberikan dampak positif bagi ekonomi masyarakat sekitar.
Melalui program PNPM Pariwisata setidaknya masyarakat mendapatkan suntikan dana dari PNPM untuk mengelola unit usaha berupa kedai untuk menjual berbagai souvenir dan makanan khas Aceh . Di sini pengunjung bisa membeli oleh-oleh berupa cinderamata atau pun makanan khas Aceh, dan kaos oblong. “Selain itu kita juga menyediakan buku testimoni para korban yang selamat dan brosur-brosur untuk para pengunjung,” jelas Wahyu yang fasih berbahasa Inggris.
Berdasarkan catatan yang dipunyai Wahyu, terhitung sejak Desember hingga Februari sudah ada ribuan pengunjung yang datang ke tempat ini. Mayoritas mereka berasal dari Malaysia, selebihnya dari Amerika dan Eropa. “Untuk menyambut kedatangan tamu-tamu khusus kita juga kerap menampilkan pertunjukan seperti tarian,” katanya.
Kabid Sejarah dan Kebudayaan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh, Wahyudi, kepada the Atjeh Post beberapa waktu lalu mengatakan, bahwa keberadaan masyarakat sadar wisata ini adalah untuk membuat agar masyarakat lebih proaktif terhadap pengembangan objek wisata di daerahnya. “Sehingga masyarakat secara tidak langsung bisa menjadi tour guide bagi para wisatawan,” ungkapnya.
Sumber | atjehpost.com | Ihan Nurdin
Posting Komentar