Demonstran yang mengalami luka dilarikan ke rumah sakit darurat di dekat Masjid Rabaa Adawiya, Cairo, Mesir, Rabu (14/8)./Foto: EPA/Mosaab Elshamy |
Lembaga tersebut pun mengungkapkan, pembantaian itu merupakan pembunuhan terburuk dalam sejarah moderen sebuah negara. Pasukan keamanan Mesir menggunakan kekuatan mematikan untuk mengusir aksi duduk pada 14 Agustus 2013.
Investigasi HRW melaporkan, keputusan untuk menggunakan senjata peluru tajam dengan skala besar sejak awal menunjukkan gagalnya penerapan kebijakan yang berdasarkan pengawasan internasional saat memutuskan untuk menggunakan kekuatan mematikan.
Padahal, tidak ada alasan berarti tentang adanya gangguan dari para pengunjukrasa atau gangguan dari penggunaan senjata terbatas dari demonstran.
Kegagalan dari pemerintah untuk membuka 'pintu keluar' bagi keselamatan peserta aksi duduk, termasuk pengunjukrasa yang cedera akibat tembakan dan membutuhkan perawatan medis adalah kekerasan serius dalam standar internasional.
Investigasi HRW berdasarkan dokumentasi dari tangan pertama, wawancara intensif dengan para pekerja kesehatan, dan Pusat Hak Ekonomi dan Sosial Mesir.
Jumlah korban tewas saat aksi duduk di Raba Al Adawiya melonjak dengan cepat dari 288 versi kementerian kesehatan bentukan militer, menjadi 377 korban tewas.
Dengan jumlah korban tewas yang terus bertambah setiap hari, HRW mendesak, penguasa militer Mesir harus menghentikan kebijakan instruksi penggunaan peluru tajam untuk melindungi gedung negara. Kebijakan tersebut, seharusnya hanya digunakan untuk melindungi nyawa seseorang.
"Penggunaan kekuatan mematikan yang tak bisa dibenarkan ini adalah kemungkinan terburuk penyebab situasi di Mesir hari ini,"ujar Joe Stork, Direktur HRW zona Afrika Utara dan Timur Tengah.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah korban tewas hingga 14 Agustus tercatat 638 jiwa. Termasuk 43 polisi. Terjadi bakutembak di kota dekat Kairo di Mohandessin dan sebuah serangan terhadap kantor polisi di Kerdassa yang menyebabkan 4 polisi tewas.
HRW pun mewawancarai saksi, pendeta, dan warga atas kejadian tersebut. Mereka menjelaskan setelah 14 Agustus 2013, milisi Islam radikal telah menyerang sembilan kota dan membakar 32 gereja.
Tiga hari setelahnya, terjadi bentrokan antara pasukan keamanan dan demonstran dari Ikhwanul Muslimin, juga pengunjukrasa anti Ikhwanul Muslimin. Terdapat 173 korban tewas pada 18 Agustus, menurut data dari Kementerian Kesehatan.
Sumber: ROL
[jemp]
Posting Komentar