Mursalin |
SAAT ini Aceh kembali disorot oleh berbagai media, baik media lokal, nasional maupun international. Sorotan ini bukan karena suara senapan, juga bukan karena adanya tsunami baru, melainkan karena soal bendera dan lambang Aceh.
Sejak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan bendera dan lambang resmi Pemerintah Provinsi Aceh, 25/3/2013. Muncul reaksi dari berbagai kalangan, ada yang pro dan kontra terhadap Qanun No. 3 tahun 2013, seperti yang terjadi di beberapa daerah beberapa hari yang lalu, pasalnya bendera dan lambang tersebut mirip dengan bendera yang digunakan pada saat aceh bergejolak konflik tempo dulu. Berbagai argumen bermunculan sebagai bentuk penolakan, sebut saja PP No.77 tahun 2007 tentang lambang daerah, disebutkan “desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Selain secara yuridis, ada juga pihak yang memandang bahwa Aceh sudah merdeka jika bendera dan lambang tersebut berkibar di seantero serambi mekkah, padahal berkali-kali Gubernur dan DPR Aceh mengatakan “bendera tersebut hanya sebagai pemersatu dibawah NKRI, dan sebagai indentitas kekhususan Aceh” (Serambi, 05/04/2013). Pihak yang menolak tetap bersikukuh pada aksinya menolak qanun tersebut. Ada juga yang melihat dari sisi psikologi, trauma terhadap konflik masa lalu bahwa jika bendera tersebut berkibar akan membuka luka lama, atau menimbulkan luka baru lagi, mengutip pernyataan Hamid Awaluddin (Tokoh Perdamain Delegasi RI), (Kompas, 09/04/2013). Lagi-lagi Natsir Jamil mengatakan janganlah memandang Aceh dengan prasangka buruk (Okezone, 06/04/2013). Perlu disadari bahwa Aceh merupakan daerah istimewa, sehingga berhak menuntut keistimewaannya melalu perjuangan-perjuangan, malah justru bergejolak lagi jika hak-hak perjuangannya dikabur-kaburkan.
Berangkat dari polemik diatas, menurut analisa saya, memang disadari bahwa dalam poin MOU Helsingki 2005 tidak tertulis dengan ‘tegas dan jelas’ mengenai model bendera dan bentuk lambang yang akan digunakan Aceh nantinya, sehingga disinilah titik awal masalah yang menimbulkan banyak penafsiran terhadap model bendera dan bentuk lambang, mungkin saja akan mendapat gejolak yang sama terhadap himne nantinya. Sedikit berandai-andai, sekiranya dipertegas dan diperjelas dalam poin-poin MOU terhadap dua hal ini (bendera, lambang) mungkin saja tidak terjadi seperti sekarang ini. Kamudian, kalaulah sekiranya penjelasan tentang bendera akan diatur dalam PP (peraturan Pemerintah). Lalu kenapa baru sekarang DPR Aceh mengesahkannya ? Kenapa tidak setelah PP No.77 tahun 2007 terbit langsung digagas soal bendera. Ada apa dengan DPR ?
Disini saya melihat laju kecepatan DPR Aceh dalam memperjuangkan realisasi MOU Helsingki yang di turunkan dalam UUPA No.11 tahun 2006 sangat lambat, dan kurang sensitif terhadap peraturan-peraturan (PP) yang dibuat pusat untuk Aceh, hal ini terlihat pada PP No.77 tahun 2007. Semestinya pada saat perumusan PP No.77 tahun 2007, pihak Gubernur dan DPR Aceh, tokoh-tokoh delegasi perdamaian terlibat aktif dalam perumusan sehingga multitafsiran dapat diantisipasi, mengapa ? karena ini juga merupakan bagian penting, atau sama pentingnya dengan perumusan qanun bendera. Meskipun dalam UUPA disebutkan setiap peraturan yang dibuat untuk Aceh harus berkonsultasi dengan DPR Aceh, tentunya DPR harus lebih sensitif dan pro aktif demi kemaslahan dan kemajuan Aceh kedepan, terutama menyangkut realisasi poin-poin UUPA sebagai buah perjuangan rakyat Aceh.
Selain secara yuridis, ada juga pihak yang memandang bahwa Aceh sudah merdeka jika bendera dan lambang tersebut berkibar di seantero serambi mekkah, padahal berkali-kali Gubernur dan DPR Aceh mengatakan “bendera tersebut hanya sebagai pemersatu dibawah NKRI, dan sebagai indentitas kekhususan Aceh” (Serambi, 05/04/2013). Pihak yang menolak tetap bersikukuh pada aksinya menolak qanun tersebut. Ada juga yang melihat dari sisi psikologi, trauma terhadap konflik masa lalu bahwa jika bendera tersebut berkibar akan membuka luka lama, atau menimbulkan luka baru lagi, mengutip pernyataan Hamid Awaluddin (Tokoh Perdamain Delegasi RI), (Kompas, 09/04/2013). Lagi-lagi Natsir Jamil mengatakan janganlah memandang Aceh dengan prasangka buruk (Okezone, 06/04/2013). Perlu disadari bahwa Aceh merupakan daerah istimewa, sehingga berhak menuntut keistimewaannya melalu perjuangan-perjuangan, malah justru bergejolak lagi jika hak-hak perjuangannya dikabur-kaburkan.
Berangkat dari polemik diatas, menurut analisa saya, memang disadari bahwa dalam poin MOU Helsingki 2005 tidak tertulis dengan ‘tegas dan jelas’ mengenai model bendera dan bentuk lambang yang akan digunakan Aceh nantinya, sehingga disinilah titik awal masalah yang menimbulkan banyak penafsiran terhadap model bendera dan bentuk lambang, mungkin saja akan mendapat gejolak yang sama terhadap himne nantinya. Sedikit berandai-andai, sekiranya dipertegas dan diperjelas dalam poin-poin MOU terhadap dua hal ini (bendera, lambang) mungkin saja tidak terjadi seperti sekarang ini. Kamudian, kalaulah sekiranya penjelasan tentang bendera akan diatur dalam PP (peraturan Pemerintah). Lalu kenapa baru sekarang DPR Aceh mengesahkannya ? Kenapa tidak setelah PP No.77 tahun 2007 terbit langsung digagas soal bendera. Ada apa dengan DPR ?
Disini saya melihat laju kecepatan DPR Aceh dalam memperjuangkan realisasi MOU Helsingki yang di turunkan dalam UUPA No.11 tahun 2006 sangat lambat, dan kurang sensitif terhadap peraturan-peraturan (PP) yang dibuat pusat untuk Aceh, hal ini terlihat pada PP No.77 tahun 2007. Semestinya pada saat perumusan PP No.77 tahun 2007, pihak Gubernur dan DPR Aceh, tokoh-tokoh delegasi perdamaian terlibat aktif dalam perumusan sehingga multitafsiran dapat diantisipasi, mengapa ? karena ini juga merupakan bagian penting, atau sama pentingnya dengan perumusan qanun bendera. Meskipun dalam UUPA disebutkan setiap peraturan yang dibuat untuk Aceh harus berkonsultasi dengan DPR Aceh, tentunya DPR harus lebih sensitif dan pro aktif demi kemaslahan dan kemajuan Aceh kedepan, terutama menyangkut realisasi poin-poin UUPA sebagai buah perjuangan rakyat Aceh.
Harapan Baru
Melihat fenomena reaksi penolakan dan dukungan terhadap qanun bendera yang terjadi diberbagai daerah di Aceh, belum adanya titik temu terhadap masalah ini. Oleh karena itu, pemerintah pusat, khususnya presiden langsung menanggapi, mengingat Aceh merupakan bekas daerah konflik, dikhawatirkan kambuh lagi, dan kita semua tidak menginginkan itu terjadi kembali menjalani masa-masa suram. Oleh karena itu, usaha pemerintah pusat ingin duduk kembali menyamakan persepsi menyangkut masalah bendera dan lambang akan dibahas pada 13 April 2013. Sikap pemerintah pusat merupakan langkah bijak dalam menyelesaikan masalah Aceh secara komphrehensif dan berkesinambungan demi anak-anak dan generasi Aceh dimasa mendatang.
Masyarakat mengharapkan adanya solusi terhadap polemik yang terjadi, mereka tidak menginginkan adanya perseturuan yang terus berlanjut berakibat rusaknya perdamaian yang telah dibangun hampir satu windu, rasa kenyamanan dan kecemasan kembali dengan wajah ceria, sehingga kita semua bisa mengisi perdamaian ini dengan pembangunan sumberdaya manusia, kemakmuran bersama, membuka lapangan kerja, dan masih banyak lainnya yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, jika ada suatu problem, tidak terkecuali masalah bendera dan lambang, maka jalan solusinya adalah dengan mufakat/muswarah (duduk bersama) kembali dengan pada para tokoh delegasi untuk menyamakan persepsi/kesepahaman antara dua belah pihak yang berseteru.
Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah dan GAM secara ekplisit ditegaskan, bila dikemudian hari ada perbedaan pandangan atau persepsi tentang aplikasi nota kesepahaman ini, kedua belah pihak bisa duduk bersama membicarakannya. Mekanisme ini jauh lebih baik ditempuh dulu, biarkan para tokoh mantan GAM dan para wakil pemerintah membicarakannya untuk membuahkan solusi. Tanggal 13 April 2013 adalah hari dimana para tokoh delegasi perdamaian membicarakan kembali bagaimana polemik bisa diselesaikan. Akankah pusat mengiklaskan bendera GAM untuk Aceh ? Insya Allah ada jalan, sesuai lagunya Maher Zain. Semoga.
*Mursalin, adalah Mahasiswa Aceh di Rantau (Candidate Master Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Jawa Timur/ Pemerhati Masalah Sosial, perkembangan Politik di Aceh.
Alumnus Erasmus Scholarship Italia, 2012
Melihat fenomena reaksi penolakan dan dukungan terhadap qanun bendera yang terjadi diberbagai daerah di Aceh, belum adanya titik temu terhadap masalah ini. Oleh karena itu, pemerintah pusat, khususnya presiden langsung menanggapi, mengingat Aceh merupakan bekas daerah konflik, dikhawatirkan kambuh lagi, dan kita semua tidak menginginkan itu terjadi kembali menjalani masa-masa suram. Oleh karena itu, usaha pemerintah pusat ingin duduk kembali menyamakan persepsi menyangkut masalah bendera dan lambang akan dibahas pada 13 April 2013. Sikap pemerintah pusat merupakan langkah bijak dalam menyelesaikan masalah Aceh secara komphrehensif dan berkesinambungan demi anak-anak dan generasi Aceh dimasa mendatang.
Masyarakat mengharapkan adanya solusi terhadap polemik yang terjadi, mereka tidak menginginkan adanya perseturuan yang terus berlanjut berakibat rusaknya perdamaian yang telah dibangun hampir satu windu, rasa kenyamanan dan kecemasan kembali dengan wajah ceria, sehingga kita semua bisa mengisi perdamaian ini dengan pembangunan sumberdaya manusia, kemakmuran bersama, membuka lapangan kerja, dan masih banyak lainnya yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, jika ada suatu problem, tidak terkecuali masalah bendera dan lambang, maka jalan solusinya adalah dengan mufakat/muswarah (duduk bersama) kembali dengan pada para tokoh delegasi untuk menyamakan persepsi/kesepahaman antara dua belah pihak yang berseteru.
Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah dan GAM secara ekplisit ditegaskan, bila dikemudian hari ada perbedaan pandangan atau persepsi tentang aplikasi nota kesepahaman ini, kedua belah pihak bisa duduk bersama membicarakannya. Mekanisme ini jauh lebih baik ditempuh dulu, biarkan para tokoh mantan GAM dan para wakil pemerintah membicarakannya untuk membuahkan solusi. Tanggal 13 April 2013 adalah hari dimana para tokoh delegasi perdamaian membicarakan kembali bagaimana polemik bisa diselesaikan. Akankah pusat mengiklaskan bendera GAM untuk Aceh ? Insya Allah ada jalan, sesuai lagunya Maher Zain. Semoga.
*Mursalin, adalah Mahasiswa Aceh di Rantau (Candidate Master Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Jawa Timur/ Pemerhati Masalah Sosial, perkembangan Politik di Aceh.
Alumnus Erasmus Scholarship Italia, 2012
Posting Komentar